Guru Ekonomi MAN 3 Pekalongan

Kamis, 13 Oktober 2011

ULAMA AHLUSSUNAH MEMBOLEHKAN TAWASSUL

Ulama yang shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membolehkan Tawassul (Sebagian diambil dari kitab Syawahid al-Haq karya Syaikh Yusuf an-Nabhani yang khusus menerangkan tentang tawassul atau istighatsah ) :  
1.   Al Imam Sufyan bin Uyainah (guru dari Al Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal). 2. Al Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi). 3. Al Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani (murid Al Imam Abu Hanifah). 4. Al Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani (ulama terkemuka madzhab Hanafi). 5. Al Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). 6. Al Imam Asy Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i). 7. Al Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Mazhab Hanbali). 8. Al Imam Abu Ali al Khallal (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 9. Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani. 10. Al Hafizh al Khatib al Baghdadi (penulis kitab Tarikh Baghdad) 11. Al Hafizh Ibnu Khuzaimah. 12. Al Hafizh Abu al Qasim ath Thabarani 13. Al Hafizh Abu Syaikh al Ashbihani. 14. Al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri’ al Ashbihani. 15. Al Hafizh Ibn al Jauzi. 16. Al Hafizh adz Dzahabi. 17. Syaikh Yusuf bin Ismail al Nabhani. 18. Al Hafizh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al Harbi (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 19. Al Hafizh Abu Ali al Husain bin Ali bin Yazid al Naisaburi (guru utama al Imam al Hakim). 20. Al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 21. Al Imam Abu al Khair al Aqtha al Tinati (murid al Imam Abu Abdillah bin al Jalla). 22. Al Hafizh Ibnu Asakir. 23. Al Hafizh Al Sakhawi. 24. Al Sya’rani. 25. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Al Imam al Nawawi). 26. Al Hafizh Ibn Al Jazari. 27. Al Imam Muhammad bin Ali al Syaukani. 28. Al Hafizh al Baihaqi 29. Zainuddin Ali bin al-Husain (cucu Rasulallah) 30. Asy-Syihab Mahmud 31. Asy-Syihab Ahmad ad-Dimasyqi 32. Al-Juzuli dalam Dala’il al-Khairat 33. Muhammad al-Makki dalam shalawat Fathur Rasul 34. Muhammad asy-Syanwani, Syaikh Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang juga pengarang syarah Mukhtashar Abi Jamrah 35. Muhammad Wafa asy-Syadzili  
sedang ulama yg melakukan tawasul dalam keterangan kitab yang laen sbg berikut:
1.   Sufyan bin Uyainah (198 H / 813 M) Sufyan bin Uyainah berkata: ada dua laki2 saleh yg dpt menurunkan hujan dg cara bertawassul dg mereka yaitu Ibnu 'Ajlan dan Yazid bin Yadzibin jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. (kitab al-'illal wa Ma'rifah al-Rijal juz I hal. 163-164 karya Ahmad bin Hanbal)
2.   2 Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M) perkataan Abu Hanifah ketika berziarah ke Madinah dan berdiri di hadapan makam Rosulullah saw. yaitu: "Hai orang yg termulya di antara manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridloilah aku dg ridlomu. Aku merindukan kemurahan darimu, engkaulah satu2nya harapan Abu Hanifah" (kitab al-Ziyaroh Nabawiyah hal. 56 karya Sayyid Muhammad al-Maliki)
3.   3. Imam Syafii (150-204 H/ 767-819 M) "Dari Ali bin Maimun beliau berkata: Aku telah mendengar Imam Syafii berkata: Aku selalu bertabarruk dg Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dg berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat 2 rokaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya,sehingga tdk lama kemudian hajatku segera terkabulkan" (kitab Tarikh al-Baghdad juz I hal. 123 dg sanad yg shohih, karya al-Hafidz Abi Bakr Ahmad bin Ali) 4. Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ishaq al-Harby (198-285 H/813-898 M) Ibrahim al-Harby berkata: Makam Ma'ruf al-Karkhy adalah obat penawar yg sangat mujarab (maksudnya datanglah ke makam Ma'ruf al-Karkhy, sebab berdo'a di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan (Kitab Tarikh al-Islam hal.1494 karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman)

  tawassul yg dilakukan oleh ulama' muta'akhirin

 1. Ibnu Huzaimah (223-311 H/ 838-924 M) "Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, Abu Bakr bin Huzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqofy beserta rombongan para guru utk berziarah ke makam Ali Ridlo bin Musa al-Kadzim di Thusi, ia (Abu Bakr bin Mu'ammal) berkata: Aku melihat keta'dliman beliau (Ibnu Huzaimah) thd makam itu,serta sikap tawadlu' terhadapnya dan do'a beliau yg begitu khusyu' di sisi makam itu sampai membuat kami bingung (kitab Tahdzib.... juz 7 hal. 339 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolany)

 2. Abu Qosim al-Thobary (260-360 H/874-971 M) Abu al-Syaikh al-Asbihany (274-369 H/ 897-979 M)dan Abu Bakar bin Muqry al-Asbihany (273-381 H/ 896-991 M) Mereka mengisahkan kondisi mereka dlm keadaan lapar selama satu tahun kurang makan,lalu setelah waktu Isya' mereka bertawasul dan beristighosah dg cara mengunjungi makam Rosulullah saw seraya berkata demikian: "Yaa Rosulullah kami semua lapar dan lapar" dan saat salah satu mau pulang,al-Thobary berkata: Duduklah,kita tunggu datangnya rizki atau kematian, kemudian 2 org teman al-Thobary tidur di sisi makam Rosulullah saw,sedang al-Thobary duduk sambil memandang sesuatu, tiba2 datang seorang lelaki 'alawy (yaitu keturunan Nabi saw) bersama dg 2 budaknya yg masing2 membawa keranjang yg penuh dg makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama, kemudian lelaki 'alawy berkata: Hai kamu apakah kamu semua mengadu kpd Rosulullah? Aku barusan bermimpi bertemu dg Rosulullah saw dan menyuruh aku membawakan makanan untuk kamu sekalian (kitab al-Wafa bi Ahwal al-Musthafa hal.818 karya Ibnu al-Jauzy)

3. Abu Ali al-Husaini bin Ali bin Yazid al-Asbihany (277-349 H/ 900-961 M) beliau berkomentar sebagai berikut: "Al-Hakim berkata bahwa aku telah mendengar Abu Ali al-Naisabury berkata: Pada suatu ketika aku dlm kesusahan yg sangat mendalam,lalu aku bermimpi bertemu Rosulullah saw. dan beliau berkata kpdku: "Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/ 759-840 M),bacalah istighfar dan berdo'alah kpd Allah nanti kebutuhanmu akan dikabulkan" Kemudian pagi harinya aku melakukan hal tersebut,lalu kebutuhanku segera dikabulkan (kitab Tahdzib...juz 11 hal. 261 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani)

4. Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu: "Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"


=============

Sandaran Tawassul Lepas Wafat
KITA menyambung bicara kita tentang tawassul dalam latar kehangatan beberapa isu-isu agama yang timbul dalam masyarakat seperti penangkapan pengikut fahaman Syiah, ancaman faham Pluralisme Agama dan fatwa tentang peguam bukan Islam di Mahkamah Syariah.
Di samping, sikap dan pendirian majoriti umat yang tercermin antara lainnya dalam suara majoriti mufti-mufti, kedengaran juga di sana-sana suara-suara sumbang dan syadz (ganjil/asing). Ada yang mempertikaikan penggunaan undang-undang terhadap aliran menyeleweng malah ada juga ilmuwan yang bukan ulama yang cuba menghujah bahawa Syiah bukanlah aliran yang bermasalah.
Suka kita mengambil kesempatan di sini untuk berpesan kepada diri dan para pembaca sekalian untuk berwaspada terhadap pandangan-pandangan yang menyalahi majoriti umat ini. Khalayak awam yang punya tumpuan dan kehidupan mereka masing-masing tidaklah dibebankan untuk meneliti setiap hujah dan dalil yang cuba dikemukakan. Nanti terhenti dan terganggu pula kehidupan masyarakat. Inilah rahsianya prinsip-prinsip mengutamakan ijmak ataupun suara majoriti umat (sawad al-a’zam) dalam Islam.
Umat Nabi Muhammad SAW tidak akan bersepakat atas suatu yang batil. Bagi orang awam, cukuplah sandarannya untuk menolak pandangan mereka ini dengan bersandar dengan sekian ramai para ulama dan ilmuwan Islam lain yang bersama suara majoriti. Menganggap bahawa semua mereka ini jahil, leka, tersalah ataupun sudah dibeli oleh kepentingan duniawi adalah suatu sikap prasangka yang melampau terhadap Islam dan umat Islam.
Mungkin dalam isu bertawassul ini juga suara-suara yang sama akan membangkang pandangan majoriti yang sedang kami bentangkan. Semoga kita sentiasa ditawfiqkan untuk memakai pandangan yang terbaik.
Bertawassul selepas kewafatan Nabi SAW memang ada sandarannya. Antaranya, telah meriwayatkan Ibnu Abi al Dunya di dalam kitab Mujabi al Du’a', katanya: “Telah menyampaikan kepada kami Abu Hasyim, aku mendengar Kathir ibnu Muhammad ibnu Kathir ibnu Rifa’ah berkata ‘telah datang seorang lelaki kepada Abdul Malik ibnu Sa’id ibnu Abjar, lalu dia memerhatikan perutnya dan berkata, “Kamu mengidap satu penyakit kronik yang sukar untuk sembuh.” Katanya: “Penyakit apakah yang aku hidapi?” Jawabnya: “Al Dubailah, iaitu kanser dan bisul besar yang tumbuh dalam perut. Biasanya, ia boleh meragut nyawa orang yang menghidapnya.”
Beliau berkata: “Maka lelaki itu berpaling dan berdoa: “Allah, Allah, Allah adalah Tuhanku, aku tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Ya Allah! Sesungguhnya aku bertawajjuh kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad; Nabi pembawa rahmat SAW, wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu dan Tuhanku agar Dia merahmatiku (dengan menyembuhkan) penyakit yang menimpaku.”
Ibnu Rifa’ah berkata: “Abdul Malik ibnu Said menyentuh perut lelaki itu, lalu berkata, ‘kamu telah pun sembuh dan penyakit itu tidak ada lagi padamu’.”
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Doa ini dan doa lain yang sepertinya, telah diriwayatkan, bahawa ia telah digunakan oleh Salaf. (Ibnu Taimiyyah, Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wa al Wasilah H: 91).”
Kita sedia maklum, bahawa Ibnu Taimiyyah mengetengahkan hadis ini untuk menjelaskan maksudnya dan memfokuskannya seperti mana yang dikehendakinya. Namun, yang penting bagi kita di sini ialah pengakuannya bahawa Salaf telah menggunakan doa sedemikian dan terhasilnya penyembuhan dengan doa tersebut. Inilah ketetapan daripada permasalahan ini yang penting bagi kita. Adapun ta’liq (komen)nya ke atas hadis ini, ia hanya pendapatnya sahaja. Bagi kami, itu tidak penting kecuali adanya penetapan nas untuk dijadikan dalil atas apa yang kami inginkan, dan Syeikh Ibnu Taimiyyah juga berhak menggunakan hadis tersebut sebagai dalil sebagaimana yang diingininya.
Sebahagian daripada mereka berbunyi dan bersuara lantang mengenai hadis Tawassul Nabi Adam AS dan hadis Uthman ibnu Hunaif RA dan lain-lainnya. Mereka beria-ia menolaknya dengan segala kekuatan, berdebat, berdialog, berdiri dan duduk serta melakukan bermacam-macam cara. Semua yang mereka lakukan tidak ada faedahnya kerana walau bagaimana hebat sekalipun usaha mereka untuk menolak hadis-hadis yang berkaitan dengan bab ini, ulama besar terlebih dahulu telah pun mengemukakan pendapat mereka.
Ternyata ulama-ulama besar tersebut lebih sempurna akalnya, lebih luas ilmunya, lebih jauh pengalamannya, lebih dalam kefahamannya dan lebih banyak cahaya, ketakwaan dan keikhlasannya daripada mereka. Misalnya, Imam Ahmad ibnu Hanbal RH. Beliau berkata mengenai keharusan bertawassul sebagaimana yang dinaqalkan daripadanya oleh Ibnu Taimiyyah dan al ‘Iz Ibnu Abdul Salam. Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan di dalam salah satu pendapatnya tentang keharusan bertawassul secara khusus dengan Nabi SAW. Kemudian diikuti pula, oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab yang menafikan tuduhan bahawa dia mengkafirkan orang yang bertawassul. Bahkan, jelas di dalam kitab Fatawanya, beliau menegaskan bahawa tawassul hanyalah menyentuh masalah cabang agama dan bukannya berkaitan tentang masalah usul. Semuanya ini akan diperincikan di dalam kitab Mafahim yang kita bentangkan sedutannya di sini, insya-Allah.
Dalam hal ini, Syeikh al Allamah al Muhaddith Abdullah al Ghumari telah menulis sebuah risalah khusus yang membicarakan tentang hadis ini yang diberi tajuk, Misbah al Zujajah fi Fawaid Solat al Hajah. Beliau telah mengupasnya dengan kupasan yang amat baik dan berguna, bahkan telah menghasilkan sesuatu yang mampu menyembuhkan dan mencukupkan pelbagai keperluan. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
- Panel Penyelidikan Yayasan Sofa, Negeri Sembilan

Bertawassul selepas kewafatan Nabi SAW
Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA, NEGERI SEMBILAN
SESUDAH kita menghuraikan tentang bolehnya bertawassul dengan Nabi SAW sebelum hayat Baginda SAW, mari pula kita melihat hukum tawassul semasa hayatnya dan selepas wafat Baginda SAW. Untuk itu marilah kita merujuk kepada beberapa dalil utama yang berkaitan.
Diriwayatkan daripada Uthman ibn Hunaif RA berkata: Aku mendengar, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah SAW, lalu mengadu tentang penglihatannya yang hilang. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! “Doakanlan keafiatan untukku.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jikalau kamu mahu, aku akan lewatkannya (tidak mendoakannya supaya dia dapat balasannya di Akhirat) dan jikalau kamu mahu, aku akan mendoakan keafiatan untuk kamu.” Lelaki itu menjawab “Doakanlah.” Maka Baginda SAW menyuruh lelaki buta itu berwuduk dan memperelokkan wuduknya serta melakukan solat dua rakaat, kemudian berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawajjuh kepada-Mu dengan (hak) Nabi-Mu; Muhammad SAW; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu, agar engkau tunaikan hajatku ini. Ya Allah! Syafaatkanlah dia untukku dan syafaatkanlah aku padanya.”
Telah berkata al-Hakim: Hadis ini adalah sohih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh al Bukhari dan Muslim (Al Mustadrak, Jld 1, H: 519). Telah berkata al-Zahabi tentang hadis ini: Ia adalah sohih. Telah berkata al-Tirmizi di dalam bab-bab Berdoa di bahagian akhir kitab Sunannya: Ini ialah hadis hasan sohih gharib, kami tidak mengetahuinya melainkan daripada wajah ini daripada hadis Abu Ja’far, dan dia bukan al Khatmi.
Aku berkata: Yang benarnya, Abu Ja’far ialah al Khatmi al Madani sebagaimana yang didatangkan dengan jelas di dalam riwayat-riwayat al-Tabrani, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Tabrani menambah di dalam al Mu’jam al Soghir bahawa namanya ialah ‘Umair ibn Yazid dan dia adalah seorang yang thiqah (dipercayai).
Telah berkata al ‘Allamah al Muhaddith Abdullah ibn Siddiq al Ghumari di dalam risalahnya Ittihaf al Azkiya’: Tidak diterima akal, para hafiz bersatu di dalam mentashihkan hadis yang ada di dalamnya sanadnya yang majhul, terutamanya al-Zahabi, al-Munziri dan al-Hakim.
Telah berkata al-Munziri: Ia juga diriwayatkan oleh al-Nasaie, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di dalam Sohihnya.(al Targhib wa al Tarhib pada kitab al Nawafil, bab al Targhib fi Solat al Hajah (Jld 1, H: 474).
Kesimpulan daripada kisah yang diberikan, Uthman ibn Hunaif RA yang merupakan periwayat hadis ini dan menyaksikan kisah tersebut, telah mengajar orang yang mengadu kepadanya tentang kelewatan Khalifah Uthman RA menunaikan hajatnya doa ini yang terkandung di dalamnya tawassul dengan Nabi SAW dan seruan kepada Baginda SAW untuk meminta tolong dengan Baginda SAW selepas kewafatannya. Setelah lelaki itu menyangka bahawa hajatnya terlaksana disebabkan pemberitahuan Uthman ibn Hunaif RA kepada Khalifah RA, lekas-lekas Uthman ibn Hunaif RA menafikannya. Lantas beliau menceritakan kepadanya tentang peristiwa yang telah didengari dan dilihatnya untuk menjelaskan bahawa hajatnya diterima kerana tawassul, doa dan istighathahnya dengan Rasulullah SAW. Bahkan, dia menguatkan lagi hal tersebut dengan sumpahnya bahawa dia tidak memberitahu khalifah tentang aduan lelaki itu. Maka jelaslah bahawa ada asas yang kukuh bagi membolehkan bahkan menggalakkan bertawassul dengan Nabi SAW semasa hayatnya dan selepas wafat Baginda SAW.
SUMBER : http://www.utusan.com.my/

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah tiada
Sumber:
Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan ra yang bernama Hasan Al-Mutsana.


Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atas petunjuk Sayyidah ‘Aisyah
Al Imam Al Hafidh Al Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu Shallallahu ‘alaihi wasallam ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk ( unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk ).” Sunan Al Daarimi vol. I hlm 43.

Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.

Takhrij al hadits:
Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam Al Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah (kacau fikiran) di usia tua. 
Pendapat saya kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman. 
Al Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya ?” ( Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8).

Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.
Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribu Al Raawi). 

Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Al Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim.

Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik.
Para ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini. 

Sayyidah ‘Aisyah dan sikap beliau terhadap kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang notabene shahabat perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah para ulama shahabat.

Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menyayangi dan mensyafa`ati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafa`atnya akan diberi syafa`at oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah.

Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan. Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya sampai sesudah wafat.

Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar.  (HR Ahmad). Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal.7).

‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka. 

Nabi bersabda kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman : فلعلك تمر بقبري ومسجدي "Barang kali engkau akan melewati kuburan dan masjidku ini." (HR Ahmad dan Thabarani).  Para perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ).
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan Mu’adz mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibnu Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis? tanya ‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu :  اليسير من الرياء شرك  "Sedikit dari riya adalah syirik." Hakim berkata, Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki ‘illah. Adz Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4 ). Al Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas diriwayat kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al Hakim. ( vol. 1 hal. 32 ).

Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada era Khalifah ‘Umar ra
Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.”
Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata : ائت عمر فاقرئه مني السلام وأخبرهم أنهم مسقون , وقال له : عليك بالكيس الكيس“Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar : “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”.  
Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” Kata ‘Umar. (Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. I hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa).  Saif dalam Al Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bilal ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad hadits ini dalam pandangan Ibnu Hajar Shahih. (Shahih Al Bukhari Kitaabul Istisqaa’ / Fathul Baari vol. II hlm. 415).

Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka, bahwa tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al ‘Asqalani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara para pakar hadits tidak perlu dijelaskan lagi. 

Tawassul kaum muslimin dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Yamamah
Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan “Yaa Muhammadaah”. Ibnu Katsir juga menulis sebagai berikut : Khalid ibn Al Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailamah dan bergerak menuju Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah “Yaa Muhammadaah”.  (Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm. 324 ).

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sakit dan mengalami musibah
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram.
“Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya.
“Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 165 ). Tawassul menggunakan ungkapan Ya Muhammad adalah tawassul dalam bentuk panggilan.

Tawassul dengan firgur selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata :  إذا أضل أحدكم شيئا أو أراد عونا وهو بأرض ليس بها أنيس فليقل : ياعباد الله أعينوني فإن الله عبادا لا نراهم.
“Jika salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.”

Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إن لله ملائكة في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر , فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فلبناد : "أعينوني ياعباد الله !
“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah : "Bantulah aku, wahai para hamba Allah."  Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.

Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة فليناد : \"ياعباد الله , احبسوا ! ياعباد الله , احبسوا !\" فإن لله حاضرا في الأرض سيحبسه.
“Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu Ya’la dan Al Thabarani yang memberikan tambahan : وسيحبسه عليكم “Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.”
Dalam hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.

Terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah dua rakaat fajar membaca : اللهم رب جبريل واسرفيل وميكائيل ومحمد النبي صلى الله عليه وسلم أعوذ بك من النار
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.” Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al Hafidh mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu ‘Ilaan vol. II hlm 139.
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata, "Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan seterusnya…."

Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al Adzkaar. “Tawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan seraya menta’liq hadits Allaahumma Innii As’aluka bi Haqqissaailin,“ Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para pemohon / suka berdoa. Disamakan dengan mereka adalah para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih.

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Tidak ada komentar:

Posting Komentar