Guru Ekonomi MAN 3 Pekalongan

Senin, 30 September 2013

kajian keIslaman- Qurban

A. Qurban

1. sejarah Qurban

a. qurban putra2 NAbiyyulloh Adam AS

Terdapat dalam al-Qur’an pada surat al-Ma’idah ayat 27.

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya Menerima (amal) dari orang yang bertakwa.(QS.Al-Maidah: 27).

b. Qurban zaman Nabi Nuh AS

Ritual kurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah meredanya bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka. Mereka mengurbankan beberapa hewan langsung dibakar di tempat pengorbanan.

c. Qurban Zaman Nabi Ibrohim AS

Satu riwayat mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berkurban berupa 1000 kambing, 300 sapi dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang disekitanya, dan juga menurut kisah mengundang kekaguman para Malaikat yang berada di langit. Menyikapi kekaguman mereka ,Nabi Ibrahim berkata : ”Apa yang telah saya kurbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa, demi Allah seandainya saya mempunyai anak, saya akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah”

Allah Swt menagih janji Ibrahim melalui mimpinya dan perjalanan kisah tersebut dituturkan dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffat ayat 102-107.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab , “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh ,demikianlah Kami Memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS. ash-Shaffat: 102-107).[11]

Pada malam 8 Dzul-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi menerima perintah untuk menyembelih anaknya,Isma’il as. Semula dia masih meragukan mimpinya itu, apakah datang dari Allah Swt ataupun hanya gurisan setan. Karena dia ragu, dia tidak melaksanakan mimpinya itu pada keseokan harinya. Karenanyalah malam 8 Dzu al-Hijjah, disebut malam tarwiyah (malam berpikir) siangnya disebut hari tarwiyah.
Pada malam 9 Dzu al-Hijjah, Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi, dan mimpi ini menguatkan keyakinannya bahwa mimpi ini benar datang dari Allah Swt. Hari kesembilan ini dinamakan ‘arafah.

Pada malam keepuluh Nabi Ibrahim as, bermimpi lagi. Maka pada waktu dhuhahari kesepuluh itu dia melaksanakan perintah Allah Swt. Hari ini disebut hari nahr.

Allah Swt menggantikan Ismail dengan seekor kibasy yang menurut riwayat al-Badawy didatangkan dari surga. Tanduk kibasy disimpan dengan baik oleh Ibarahim as, dan digantungkan di dinding Ka’bah yang terus bertahan sampai zaman Rasulullah Saw. Di kala Ka’bah terbakar di masa az-Zubair, tampaknya tanduk tersebut ikut terbakar dan tidak diketahui keberadaannya lagi.

d. Qurban Zaman Nabi Musa AS

Ritual kurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunanya dengan praktek penyembelihan hewan kurban yang seterusnya di bakar, tradisi ini terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka. Dalam tradisi Musa dan kaumnya, dikenal dua macam jenis kurban. Pertama kurban yang berupa binatang yang diperuntukan untuk Allah. Kedua berupa hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung. Kurban jenis kedua ini dihapus habis oleh syari’at Islam.[13]

Di zaman Nabi Musa as, pelaksanaan kurban dilakukan dengan memisahklan antara hewan yang disembelih dengan hewan yang dibiarkan lepas. Peristiwa ini kemudian dijadikan pegangan untuk melepaskan hewan berkeliaran setelah diberi tanda yang cukup. Kurban semacam ini terus berlanjut oleh orang Arab hingga datangnya Islam.

Pada zaman Jahiliyah, pelepasan hewan dimaksudkan untuk membesarkan berhala ,bukan untuk membesarkan Allah Swt.

Ada tiga tujuan penyembelihan kurban pada masa itu :

Pertama, untuk mendekatkan diri kepada benda yang dipuja. Hewan sembelihan dibakar. Mereka hanya mengambil kulitnya saja yang diberikan kepada seorang kahin.

Kedua, untuk meminta apapun. Hewan sembelihan dibakar separo dan separo lagi diberikan untuk kahin.

Ketiga, untuk memohon keselamatan. Hewan sembelihan ini mereka makan. Penyembelihan kurban juga dimaksudkan untuk menghapus aib. Bagi mereka yang tidak mampu menyembelih hewan berkaki empat, mereka dapat menyembelih burung. Kaum Jahiliyah juga menyediakan buah-buahan sebagai kurban, dan membakarnya di ruah-rumah ibadah mereka.

Pada zaman jahiliyah Abdul Muththalib telah menyembelih seratus ekor unta sebagai kurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Sekalipun kurban tersebut dilakukan dengan niat yang baik,tidaklah termasuk kurban yang benar karena diperbuat bukan semata-mata niat ikhlas karena Allah.

Abdul Muththalib, ketika hendak menggali kembali sumur zamzam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun, ia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu ia bernazar, bila ia dikaruniai sepukuh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa, serta mampu pula membantunya pada saat-saat menemukan kesulitan kelak, ia akan menyembelih putranya yang kesepuluh itu di dekat Ka’bah.

Abdul Muththalib dengan hati tulus akan memenuhi nazarnya. namun kaumnya ,yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya.

Abdul Muththalib merasa khawatir serta cemas menyalahi nazarnya, ia pergi ke Madinah untuk bertanya kepada Arrafat seorang dukun (syaman). Diterangkannya segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya. Setelah itu dinyatakan pula jumlah unta yang mesti disembelih bila ia mengurungkan penyembelihan anaknya (Abdullah).

Arrafat menjelaskan bahwa bila undian yang dilakukan di hadapan Hubal itu jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, maka hendaklah ditebus dengan menyembelih sepuluh ekor unta untuk setiap undian. Akan tetapi, apabila undian jatuh pada unta maka terbebaslah Abdullah dari tututan nazar. Kemudian Abdul Muththalib kembeli ke Mekkah.

Sesampainya di Makkah, Abdul Muththalib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah,dilakukan penyembelihan sepuluh ekor unta sebagai penebusnya. Demikianlah undian tersebut berkali-kali diulangi,tetapi senantiasa jatuh pada Abdullah,bukan pada unta. Baru setelah kesepuluh kalinya, undian jatuh pada unta. Maka setelah itu barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan sepuluh kali sepuluh unta sama dengan seratus ekor unta.

Undian yang dilakukan oleh Abdul Muththalib di atas disebut azlam, dan dilakukan atau dilaksanakan di hadapan patung Hubal. (Fataatu Ghassan: 76-77). Sekalipun jumlah yang dikurbankannya itu seratus ekor unta, kemudian disembelih dengan rasa dan hati yang tulus, hal itu tidaklah termasuk kurban sebab tidak mencerminkan ketauhidan, tidak berdasarkan taat kepada Allah, tetapi karena petunjuk kaahin.


2. Arti Qurban

Qurban disebut dengan kata udhhiyyah ( ( أُضْحِيَّة ,berasal dari kata dhuha dan juga boleh di baca idhhiyyah, dan bentuk jamak dari keduanya adalah adhaaahii (dengan tasydid huruf ya atau tidak bertasydid). Selanjutnya dapat juga disebut dhahiyyah, bentuk jamaknya adalah dhahaayaa, dan juga dapat disebut dengan kata adhhaat yang bentuk jamaknya adalah adhha.

Al-Ashma’i, mengatakan, bahwa kata udhhiyyah mempunyai empat lughat (bahasa)[1] ,Namun dari keempat bahasa tersebut yang paling baik diucapkan adalah kata udhhiyyah (أُضْحِيَّة).[2] Secara etimologi udhhiyyah berarti permulaan waktu dhuha, atau berarti dikerjakan pada waktu dhuha.

Sedangkan pengertian udhhiyyah dalam perspektif fiqh adalah

ما يذبح من النعم تقربا الى الله تعالى يوم العيد وايام التشريق

Nama hewan sembelihan (hewan ternak: unta, sapi dan kambing) yang sembelih pada hari raya Idul Adhha dan hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt


Kurban merupakan shadaqah yang paling utama, dan pelaksanaan penyembelihan hewan Qurban pertama kali di syari’atkan adalah pada tahun ke 2 Hijriyah, dan pada tahun yang sama,juga di syari’atkannya shalat hari raya Idul Fitri , Idul Adhha, zakat mal dan zakat fitrah.

Qurban yang dilaksanakan umat Islam setiap hari raya Idul Adhha, yang dalam perspektif al-Qur’an sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah secara melimpah kepada hamba-hamba-Nya, ternyata tidak hanya merupakan upacara relegius (relegion seremony) yang terdapat dalam tradisi Islam saja, tetapi mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu.

Al-Qur’an surat al-Hajj ayat 34 menyatakan :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِين

Dan bagi setiap umat telah Kami Syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang Dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhan-mu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (QS.al-Hajj :34).


lihat dari sumber berikut : http://saefulkangmas.blogspot.com/2013/10/sejarah-kurban-dari-masa-ke-masa.html

3. Hukum Qurban

Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :


نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. رواه مسلم


Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)


Pelaksanaan ibadah ini hukumnya sunnah muakkadah (Sangat dianjurkan) bagi yang mampu untk melaksanakannya, bahkan sampai ada sebagian Ulama’ Fiqih yang menghukuminya sebagai kewajiban, akan tetapi menurut jumhur ulama’ (Mayoritas) berpendapat sebagai sunnah muakkadah, dikarenakan keutamaannya yang sungguh sangat besar menurut syara’.

فصل لربك وانحر (سورة الكوثر: 3)

Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah

Dalam sebuah Hadits riwayat dari Imam Tirmidzi disebutkan,

أنه عليه الصلاة والسلام قال: أمرت بالنحر وهو سنة لكم

Rasulullah pernah bersabda: aku diperintahkan untuk berkurban, dan berkurban bagi kalian adalah sunnah.

Maka Ibadah Qurban ini adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan melaksanakan penyembelihan hewan yang dikategorikan sebagai Bahimatul An’am (Unta, Sapi dan Kambing), dengan ketentuan kalau sapi dan unta boleh untuk berkurban tujuh orang, sedangkan kambing hanya cukup untuk satu orang saja.

Dalam setiap keluarga cukuplah berkurban dengan seekor kambing atau seekor sapi jika mampu, melihat kondisi ekonomi yang sedang dialami, jika ia mampu melaksanakan kurban dengan seekor sapi maka laksanakanlah, karena ia lebih utama, akan tetapi jika hanya mampu dengan seekor kambing maka cukuplah bagingya.

Dan janganlah memberatkan diri sendiri dengan memaksakan untuk berkurban dengan sapi ataupun kambing, jika memang kondisi ekonomi tidak memungkinkan, lantas ia berhutang-hutang, atau menggadaikan barang miliknya untuk bisa membeli hewan kurban, maka hal ini tidaklah lebih utama jika dibandingka dengan ia memenuhi kebutuhan keluarga, lalu jika ada harta lebih yang bisa dibuat untuk membeli hewan kurban, maka itu lebih baik baginya.

(Pen. Fuad H.Basya/Red. Ulil H)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,47527-lang,id-c,syariah-t,Sunnahnya+Berkurban-.phpx

4. syarat sah qurban

Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang mudhahhi (orang yang hendak berkorban) adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari ibadah kurbannya:

Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj: 34)

Bahimatul An'am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.

Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at.

Umur hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini;

Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ فيها الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من الإبل والثني من البقر

Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun).

Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan.

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu. Diantara syarat-syarat sahnya tersebut.Ketiga, syarat yang harus dipenuhi orang yang berkurban adalah hewan kurban terbebas dari aib/cacat, sehingga bisa mengurangi kesempurnaan pelaksanaan ibadah kurban. Di dalam nash Hadits ada ada empat cacat yang disebutkan:

‘Aura’ (Buta sebelah) yang tampak terlihat jelas.
‘Arja’ (Kepincangan) yang tampak terlihat jelas.
Maridhah (Sakit) yang tampak terlihat jelas.
‘Ajfa’ (kekurusan yang membuat sungsum hilang).

Maka, Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban, dikarenakan belum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban?‘ Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’ lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ تُنْقِى

"(empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya, hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum.” (H.R.Malik)

Dengan demikian seseorang yang akan berkurban hendaklah memilih hewan kurban yang memiliki kondisi fisik sehat, tidak dalam keadaan sakit, tidak pincang, tidak buta sebelah matanya dan tidak kurus tak bersumsum, karena alasan larangan empat kategori cacat hewan diatas adalah berkurangnya daging pada hewan kurban tersebut.

Selain empat cacat diatas, sebagian ulama’ ada yang menambahkan hewan kurban yang anggota badannya ada yang terpotong, misalnya kuping, ekor atau anggota badan yang lain, tidak sah menggunakan hewan tersebut sebagai kurban. Sedangkan untuk hewan yang patah tanduknya atau hewan yang belum tumbuh atau juga tidak bertanduk maka boleh dijadikan hewan kurban, karena hal ini tidak mengurangi daging hewan kurban, sebagaimana penjelasan dalam Kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ مكسور القرن، وكذا الجلحاء وهي التي لم يخلق لها قرن، لأن ذلك كله لايؤثر في اللحم فأشبه الصوف

Cukuplah berkurban dengan hewan yang patah tanduknya, begitu juga hewan yang belum tumbuh atau tidak bertanduk, karena hal itu tidaklah berpengaruh pada daging hewan kurban, seperti halnya bulu.


Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu.

Adapun waktu menyembelihnya telah ditentukan oleh syariat, yaitu setelah shalat ‘Id sampai terbenamnya matahari pada dari hari tasyriq terakhir (tanggal 13 Dzulhijjah). Maka waktu menyembelih hewan kurban ada empat hari: Tanggal 10 Dzulhijjah (hari idul Adha) sesudah shalat ‘Id dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah (tiga hari sesudahnya) yang dikenal dengan ayyam Tasyriq. Seperti penjelasan dalam Kitab Matan Taqrib,

ووقت الذبح من وقت صلاة العيد إلى غروب الشمس من آخر أيام التشريق

Waktu penyembelihan hewan kurban dimulai setelah pelaksanaan shalat ‘Id sampai terbenamnya matahari dari akhir hari tasyriq.

Pelaksanaan penyembelihan hewan kurban dimulai ketika matahari telah naik sepenggalah, atau sekitar pukul 08.30 sampai dengan selesai, akan lebih baik jika penyembelihan dan pembagiannya dilaksanakan pada siang hari, Karena penyembelihan pada malam hari hukumnya makruh, dikhawatirkan terjadi kekeliruan pada penyembelihan ataupun terjadi keterlambatan dalam membagikan daging kurban kepada penerimanya.

Adapun hukum makruh menyembelih pada malam hari terdapat pada Kitab Kifayatul Akhyar,

فرع، وتكره التضحية ليلا خشية أن يخطىء المذبح أو يصيب نفسه أو يتأخر بتفريق اللحم

Dimakruhkan melaksanakan penyembelihan hewan kurban pada malam hari, karena dikhawatirkan terjadi kekeliruan pada penyembelih, atau membahayakan pada dirinya, dan keterlambatan membagikan daging kurban.

Maka siapapun yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Id selesai atau sesudah terbenamnya matahari di tanggal 13 Dzulhijjah, tidak sah kurbannya.

من ذبح قبل الصلاة فإنما يذبح لنفسه، ومن ذبح بعد الصلاة والخطبتين فقد أتم نسكه وأصاب سنة المسلمين (رواه الشيخان)

Barang siapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘Id maka hanya penyembelihan biasa (Bukan ibadah Qurban), dan barang siapa melaksanakan penyembelihan setelah shalat ‘Id dan dua khutbah maka sempurnalah ibadahnya dan telah memperoleh kesunahan sebagai orang muslim.

Aturan-aturan yang telah dijelaskan bukanlah untuk mempersulit seseorang dalam melaksanakan ibadah kurban, melainkan untuk memberikan tata cara yang benar menurut syara’, sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

(Pen. Fuad H Basya/Red. Ulil H)

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,47562-lang,id-c,syariah-t,Syarat+Syarat+Sah+Qurban+III-.phpx

Sabtu, 24 Agustus 2013

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PEREKONOMIAN





DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PEREKONOMIAN
(Studi kasus pada sektor UMKMK)

PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain di dalam pencapaian target – target ekonomi yang telah ditetapkan. Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro yang dapat dipengaruhi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yaitu tingkat harga agregat (inflasi), produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja (employment) dan neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Hal tersebut menunjukkan bahwa koordinasi yang kuat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam mencapai target – target ekonomi makro yang sudah ditetapkan.

PERMASALAHAN
Koordinasi antara kebijakan fsikal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam menetapkan dan mencapai target – target moneter dan deficit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Sebab pada umumnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter selalu menjadi masalah dimana sumber – sumber permasalahan tersebut, antara lain:
1.      Ketidak jelasan penugasan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral;
2.      Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah;
3.      Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan;
4.      Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar;
5.      Tingkat kemajuan pasar modal
Sebagai contoh pada saat pemerintah menghadapi cash- flow, pemerintah tidak diperbolehkan untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan untuk jangka pendek sekalipun sebab hal ini bertentangan dengan Undang – Undang No.23 tahun 1999. Bank Indonesia mempunyai kekuasaan penuh di dalam menetapkan/ mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Akan tetapi asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs mata uang adalah tetap. Dalam hal floating exchange rate system, pelaksanaannya akan lebih rumit sebab kebijakan fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Dengan demikian, walaupun Bank Indonesia memegang kebebasan penuh dalam mengatur jumlah uang yang beredar, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan.

Dampak Kebijakan fiskal terhadap perekonomian
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan dan pengeluaran negara yang dapat dilihat dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran maupun jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai oleh pengeluaran negara. Pada dasarnya sumber – sumber penerimaan negara berasal dari pajak – pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri. Sedangkan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha miliki negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara akan diperoleh surplus atau defisit APBN. Dimana apabila hasil yang diperoleh surplus dalam APBN, maka terjadi efek kontraksi dalam perekonomian yang besarnya tergantung pada efek surplus tersebut. Surplus tersebut akan digunakan untuk membayar hutang pemerintah. Sedangkan bila yang terjadi adalah defisit, maka defisit tersebut dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri atau dengan pinjaman dalam negeri. Simber – sumber pinjaman dalam negeri diperoleh dalam bentuk pinjaman perbankan dan non perbankan yang mencakup peneribitan obligasi negara dan privatisasi. Dalam hal defisit dibiayai oleh pinjaman luar negeri akan menimbulkan tekanan inflasi, apabila pinjaman luar negeri dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri sedangkan jika dipergunakan untuk membeli barang – barang impor tidak akan menimbulkan tekanan inflasi.

Dampak kebijakan moneter terhadap perekonomian.
Kebijakan moneter ditujukan untuk menjaga agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi.  Dimana pada umumnya pengaturan jumlah likuiditas dilakukan melalui berbagai instrument seperti operasi pasar terbuka (open market operations), diskonto suku bunga Bank Sentral (discount policy) dan cadangan wajib (reserve requirements).
Operasi pasar terbuka dilakukan dengan membeli dan menjual obligasi dalam jangka panjang. Dimana apabila pemerintah menganggap perlu dilakukan penambahan dalam likuiditas, maka Bank Sentral akan membeli sejumlah obligasi negara dipasar sekunder. Sedangkan jika ingin melakukan pengurangan, maka pemerintah akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio Bank Sentral.