Guru Ekonomi MAN 3 Pekalongan

Sabtu, 15 Oktober 2011

midkhol: SEPUTAR ISBAL

midkhol: SEPUTAR ISBAL: SEPUTAR ISBAL (Menanggapi diskusi antara MA dan PCA ) Oleh Ibnu Abdillah al Katiby Agar yang lain mendapat manfa'at, maka alangkah ...

SEPUTAR ISBAL


SEPUTAR ISBAL
(Menanggapi diskusi antara MA dan PCA)
Oleh Ibnu Abdillah al Katiby

Agar yang lain mendapat manfa'at, maka alangkah baiknya al-faqir tulis semua komntar al-faqir sndiri di sini, saat mengomentari status Muhammad Anshorulloh yg berdiskusi dengan Pecinta Ilmu Agama berkaitan masalah ikhtilaf ulama madzhab dan tentang Isbal atau tahthwilul akmam berikut :

Seperti yg dipahami ukhti PECINTA ILMU AGAMA (Sebab saudaranya sedng belajar di Hadraamaut dan fbnya dia yg mnggunakannya), bahwa anda terkesan ingin memaksakan statemen bahwa para ulama syafi’iyyah menentang pendapat imam Syafi’i…saya tak akan panjang lebar membicarakan hal ikhtilaf antara ulama syafi’iyyah dan imam Syafi’I karena ini bukan sdang membicarakannya. Yg jelas para ulama berbeda pndapat sebenrnya hanya mentarjih bukan menentang. Oleh karenya dlm fiqih madzhab ada sebutan mujtahid tarjih yg tugasnya member penilaian kuat dan lemahnya terhadap qoulnya imam Madzhab atau antara pendapatnya imam madzhab dgn ashab atau antara madzhab yg satu dgn madzhab yg lain, yg mnnyandang gelar mujtahid tarjih sprti Imam Nawawi dan Rofi’I dlm madzhab Syafi’i. Bahkan ada ulama yg mengaskan bahwa bebrapa pendapat tersebut sebagai aqwal dr imam Syafi’I sndiri atau ashab yg kmudian ditarjih. Saya tak panjang lebar lg bicara soal ini…

Anda MA menukil redaksi berikut utk menyanggah hujjah ukhti PCA :

وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء قال بن عبد البر مفهومه أن الجر لغير الخيلاء لا يلحقه الوعيد إلا أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال وقال النووي الإسبال تحت الكعبين للخيلاء فإن كان لغيرها فهو مكروه وهكذا نص الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء قال والمستحب أن يكون الإزار إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين وما نزل عن الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيلاء وإلا فمنع تنزيه لأن الأحاديث الواردة في الزجر عن الإسبال مطلقة فيجب تقييدها بالإسبال للخيلاء انتهى

Saya akan bahas secara singkat saja terkait qoul-qoul tsb yg anda tampilkan.
Jika anda teleti dan jeli serta memahami ilmu lughah, maka anda akan mengetahui dan memahami bahwa sebenarnya Ibnu Hajar tidak mendukung keharaman isbal secara muthlaq juga tidak mngatakan makruh bagi yang berisbal dengan tanpa khuyala. Simak…!

Ibnu Hajar berkata :

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا

“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.” (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Menurut pendapat yg mengharamkan isbal scra muthlaq, maka kutipan Ibnu Hajar ini dijadikan hujjah bahwa beliau menguatkan pndpat yg mngharamkannya scra muthlaq.

Tentu saja jika kutipan Ibnu Hajar hanya sampai di situ, maka pembaca akan berkesimpulan yg sama.

Namun bila dicek kembali perkataan Ibnu Hajar seutuhnya, ternyata kalimat itu belum selesai. Adapun perkataan Ibnu Hajar selengkapnya sebagai berikut:

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا. لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا, فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء

“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka zhahir-nya hadis-hadis itu juga mengharamkannya. NAMUN taqyid sombong pada hadis-hadis ini dipakai untuk dalil, bahwa hadis-hadis lain tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”. 

Catatan :

1. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau tidak menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong tetap diharamkan oleh banyak hadis ”

2. Petikan secara utuh di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan: “isbal dengan sombong itu dosa besar, sedang isbal tanpa sombong tidak diharamkan ”.


Jika pendapat yg mengharamkan isbal berdalih dengan ucapan Ibnu Abdil Bar :
إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال

Maka ini sungguh bukan dalil pengharamannya secara muthlaq.

Kemudian jika ditinjau dari sisi ilmu lughah, maka akan kita ketahui bahwa Ibnu Hajar TIDAK mendukung pengharaman Isbal secra muthlaq dan juga boleh (tidak makruh) jika tanpa khuyala.

Perhatikan :

Pertama : Dilihat dari lafadz USTUDILLA adalah bentuk kata kerja majhul yaitu kata kerja pasif untuk waktu lampau. Pada dasarnya, shigah majhul (bentuk kata kerja pasif) digunakan karena beberapa maksud sbgaimana disebutkan dalam kitab-kitab Nahwu :

1. Lil iejaz (meringkas)
2. Lil ‘ilmi bih (telah diketahui pelakunya)
3. Lil jahli bih (tidak diketahui pelakunya)
4. Lil khauf ‘alaih (merasa khawatir)
5. Lil khauf minhu (merasa takut)
6. Lit tahqier (merendahkan)
7. Lit ta’zhiem (mengagungkan)
8. Lil ibahmi (menyamarkan pada pendengar)

Kedua : Kata ISTIDLAL dalam konteks ini harus dijelaskan secara istilahi bukan lughowi karena demikianlah yg digunakan oleh ahli ushul fiqih dan fiqih. Maka dengan demikian memiliki makna dua :

1. menegakkan dalil secara mutlak, baik dalil itu berupa nash, ijma’ maupun yang lainnya.
2. menegakkan dalil yang bukan berupa nash, ijma’, dan qiyas.

Ketiga : kata Istidlal isytiyaqnya dari asal dalla yadullu dan mngikuti wazan istaf’ala. 
Dalam konteks ini berarti istidlal memiliki makna ittidzkhaz yaitu menjadikan. Artinya, segala sesuatu (selain Quran, sunah, ijma’, dan qiyas) yang dijadikan dalil. Adapun Quran, sunah, ijma’, dan qiyas ditegakkan sebagai dalil bukan sebagai produk/karya para mujtahid yang lahir dari ijtihad mereka. Adapun yang diakui sebagaiistidlaal adalah istishab dan lain-lain. Maka sesuatu yang dikatakan oleh setiap imam berdasarkan ketetapan ijtihadnya, seakan-akan ia menjadikannya sebagai dalil

Keempat : Menurut ilmu Balaghah dan Ma’ani, istidlal tsb masuk kategori : 

1. Qiyas iqtirani dan qiyas istitsnai. Keduanya jenis qiyas mantiq. Contoh Qiyas iqtirani: arak itu memabukkan-Setiap yang memabukan haram. Natijahnya: Arak haram. Contoh qiyas istitsnai: Jika arak itu mubah maka dia tidak memabukkan. Namun karena dia memabukkan, natijahnya: maka dia tidak mubah.

2. Istiqra, yaitu menelusuri point-point parsial pada makna untuk menetapkan hukum yang lebih universal, secara qathi'y atau dzanniy. Dan bersifat tidak ditetapkan dengan dalil tertentu tapi dengan dalil-dalil yang berkaitan satu sama lain namun berbeda maksud. Selanjutnya dengan satu tujuan itu dapat menghasilkan satu cakupan hukum.
.
3. Istishhab, yaitu penetapan hukum suatu perkara di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).

Maka dengan penjelesan ini, jelas Ibnu Hajar tidak sedang mendukung pengharaman isbal secara muthlaq dan juga tidak memakruhkannya bagi yg berisbal tanpa khuyala. Hal ini banyak didukung oleh pendapat para ulama kibar (besar), berikut :

1. ويحرم وهو كبيره إسبال شيء من ثيابه ولو عمامة خيلاء في غير حرب فإن أسبل ثوبه لحاجة كستر ساق قبيح من غير خيلاء أبيح ما لم يرد التدليس على النساء ومثله قصيرة اتخذت رجلين من خشب فلم تعرف ويكره أن يكون ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك

2. Imam Mawardi dalam kitab Al-Inshof juz 1 hal : 473 mngatakan :
ويكره زيادته إلى تحت كعبيه بلا حاجة على الصحيح من الروايتين وعنه ما تحتهما في النار وذكر الناظم من لم يخف خيلاء لم يكره والأولى: تركه هذا 

“ Dan makruh melebihi sampai bawah mata kaki tanpa ada hajat mnurut pndapat yg shohih..si nadzim mnyebutkan jika tidak takut sombong maka TIDAK MAKRUH…”

3. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam hal ini bertaqlid dgn pendapat al-Qodhi yang membolehkannya jika tanpa khuyala :
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في: ((شرح العمدة)) (ص361-362) : (فأما إن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره 
“ Ibnu Tamiyyah berkata dalam kitab Syrh Umdah “ Adapun jika tidk dngn khuyala akan tetapi karena ada alasan atau hajat atau tdk bermaksud sombong dan berhias dgn pakaian panjang dan lainya, maka tidaklah mengapa dan ini ikhtiyarnya al-Qodhi dan selainnya “.

4. Imam syafi’I sendiri memiliki pndapat lain yg dinukil oleh imam Nawawi dlm kitab majmu’nya berikut :
لا يجوز السدل في الصلاة ولا في غيرها للخيلاء ، فأما السدل لغير الخيلاء في الصلاة فهو خفيف ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر رضى الله عنه وقال له : إن إزاري يسقط من أحد شقي . فقال لهلست منهم 
“ Tidak boleh sadl atau isbal di dalm sholat maupun diluar sholat jika karena sombong. Adapun sadl bukan karena sombong di dalam sholat maka itu adalah khofif / ringan karena hadits Nabi Saw kepada Abu Bakar yang berkata “ Wahai Rasul, sesungguhnya pakaianku menyeret ke bumi “ Maka Nabi mnjawab “ Kamu bukan karena sombong “.

5. Hadits dari Ibnu Umar yg diriwayatkan dalam shohih MUSLIM berikut :

من جر إزاره لا يريد بذلك إلا المخيلة فإن الله لا ينظر إليه يوم القيامة 
“ Barangsiapa yang mnyeret sarungnya, tidak berbuat itu selain sifat sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat “. (HR. Muslim).

Nash ini jelas bahwa isbal tidaklah haram kecuali karena melakukannya dgn sifat sombong.

Demikian penjelasan ini secara singkat...smga bermanfaat...
 
SUMBER
(HASIL DISKUSI DLM GRUP 6 JAM YG LALU atau tgl 16 Oktober 2011)

Kamis, 13 Oktober 2011

Aqidah ahlussunnah adalah mengikuti Asy'ariyyah atau maturidiyyah

Aqidah ahlussunnah mengikuti Asy'ariyyah atau maturidiyyah



Ibn Taymiah dalam menuturkan tentang Asy’ariyyah, pernah berkata :


والعلماء أنصار علوم الدين والأشاعرة أنصار أصول الدين – الفتاوى الجزء الرابع
“PARA ULAMA ADALAH PEMBELA ILMU AGAMA DAN AL-ASYA’IRAH PEMBELA DASAR-DASAR AGAMA (USHULUDDIN) - (AL-FATAAWAA, JUZ 4)




Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy'ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' ulama salaf.



إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
"Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya'irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi" (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6



أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)
"Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy'ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya'irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari)" (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38



كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
"Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103



وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
"Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya'irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Hasyiyah Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi Al-'Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105



والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
"Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu 'anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)" (Hasyiyah At-Thahthawi 'ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4


Gembel Okem



Dari al-Arif Billah al-Imam As-Sayyid Abdullah Ibn Alawi al-Haddad (w 1132 H), Supaya Anda Paham Siapa Ahlussunnah

al-‘Arif Billah al-Imam as-Sayyid Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad (w 1132 H), Shahib ar-Ratib, dalam karyanya berjudul Risalah al-Mu’awanah, h. 14, menuliskan:



“Hendaklah engkau memperbaiki akidahmu dengan keyakinan yang benar dan meluruskannya di atas jalan kelompok yang selamat (al-Firqah an-Najiyah). Kelompok yang selamat ini di antara kelompok-kelompok dalam Islam adalah dikenal dengan sebutan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah kelompok yang memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Dan engkau apa bila berfikir dengan pemahaman yang lurus dan dengan hati yang bersih dalam melihat teks-teks al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah yang menjelaskan dasar-dasar keimanan, serta melihat kepada keyakinan dan perjalanan hidup para ulama Salaf saleh dari para sahabat Rasulullah dan para Tabi’in, maka engkau akan mengetahui dan meyakini bahwa kebenaran akidah adalah bersama kelompok yang dinamakan dengan al-Asy’ariyyah. Sebuah golongan yang namanya dinisbatkan kepada asy-Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari -Semoga rahmat Allah selalu tercurah baginya-. Beliau adalah orang yang telah menyusun dasar-dasar akidah Ahl al-Haq dan telah memformulasikan dalil-dalil akidah tersebut. Itulah akidah yang disepakati kebenarannya oleh para sahabat Rasulullah dan orang-orang sesudah mereka dari kaum tabi’in terkemuka. Itulah akidah Ahl al-Haq setiap genarasi di setiap zaman dan di setiap tempat. Itulah pula akidah yang telah diyakini kebenarannya oleh para ahli tasawwuf, sebagaimana telah dinyatakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam pembukaan Risalah-nya (ar-Risalah al-Qusyairiyyah). Itulah pula akidah yang telah kami yakini kebenarannya, serta merupakan akidah seluruh keluarga Rasulullah yang dikenal dengan as-Sadah al-Husainiyyin, yang dikenal pula dengan keluarga Abi ‘Alawi (Al Abi ‘Alawi). Itulah pula akidah yang telah diyakini oleh kakek-kakek kami terdahulu dari semenjak zaman Rasulullah hingga hari ini. Adalah al-Imam al-Muhajir yang merupakan pucuk keturunan dari as-Sadah al-Husainiyyin, yaitu as-Sayyid asy-Syaikh Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali Ibn al-Imam Ja’far ash-Shadiq -semoga ridla Allah selalu tercurah atas mereka semua-, ketika beliau melihat bermunculan berbagai faham bid’ah dan telah menyebarnya berbagai faham sesat di Irak maka beliau segera hijrah dari wilayah tersebut. Beliau berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lainnya, dan Allah menjadikannya seorang yang memberikan manfa’at di tempat manapun yang beliau pijak. Hingga pada akhirnya beliau sampai di tanah Hadramaut Yaman dan menetap di sana hingga beliau meninggal. Allah telah menjadikan orang-orang dari keturunannya sebagai orang-orang banyak memiliki berkah, hingga sangat banyak orang yang berasal dari keturunannya dan dikenal sebagai orang-orang ahli ilmu, ahli ibadah, para wali Allah dan orang-orang ahli ma’rifat. Sedikitpun tidak menimpa atas semua keturunan Al-Imam agung ini sesuatu yang telah menimpa sebagian keturunan Rasulullah dari faham-faham bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan. Ini semua tidak lain adalah merupakah berkah dari keikhlasan al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isa dalam menyebarkan ilmu-ilmunya, yang karena untuk tujuan itu beliau rela berpindah dari satu tempat ke tampat yang lain untuk menghindari berbagai fitnah. Semoga Allah membalas baginya dari kita semua dengan segala balasan termulia, seperti paling mulianya sebuah balasan dari seorang anak bagi orang tuanya. Semoga Allah mengangkat derajat dan kemulian beliau bersama orang terdahulu dari kakek-kakeknya, hingga Allah menempatkan mereka semua ditempat yang tinggi. Juga semoga kita semua dipertemukan oleh Allah dengan mereka dalam segala kebaikan dengan tanpa sedikitpun dari kita terkena fitnah. Sesungguhnya Allah maha pengasih. Dan ketahuilah bahwa akidah al-Maturidiyyah adalah akidah yang sama dengan akidah al-Asy’ariyyah dalam segala hal yang telah kita sebutkan”.



Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), dalam pasal ke dua pada Kitab Qawa’id al-‘Aqa’id dalam kitab syarah Ihya’ berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 2, h. 6, menuliskan: “Jika disebut NAMA AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH maka yang dimaksud adalah kaum ASY'ARIYAH DAN KAUM MATURIDIYAH”.


ULAMA AHLUSSUNAH MEMBOLEHKAN TAWASSUL

Ulama yang shaleh dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membolehkan Tawassul (Sebagian diambil dari kitab Syawahid al-Haq karya Syaikh Yusuf an-Nabhani yang khusus menerangkan tentang tawassul atau istighatsah ) :  
1.   Al Imam Sufyan bin Uyainah (guru dari Al Imam Syafi’i & Imam Ahmad bin Hanbal). 2. Al Imam Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi). 3. Al Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani (murid Al Imam Abu Hanifah). 4. Al Imam Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani (ulama terkemuka madzhab Hanafi). 5. Al Imam Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). 6. Al Imam Asy Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i). 7. Al Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Mazhab Hanbali). 8. Al Imam Abu Ali al Khallal (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 9. Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani. 10. Al Hafizh al Khatib al Baghdadi (penulis kitab Tarikh Baghdad) 11. Al Hafizh Ibnu Khuzaimah. 12. Al Hafizh Abu al Qasim ath Thabarani 13. Al Hafizh Abu Syaikh al Ashbihani. 14. Al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri’ al Ashbihani. 15. Al Hafizh Ibn al Jauzi. 16. Al Hafizh adz Dzahabi. 17. Syaikh Yusuf bin Ismail al Nabhani. 18. Al Hafizh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al Harbi (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 19. Al Hafizh Abu Ali al Husain bin Ali bin Yazid al Naisaburi (guru utama al Imam al Hakim). 20. Al Hafizh Abdul Ghani al Maqdisi (ulama terkemuka madzhab Hanbali). 21. Al Imam Abu al Khair al Aqtha al Tinati (murid al Imam Abu Abdillah bin al Jalla). 22. Al Hafizh Ibnu Asakir. 23. Al Hafizh Al Sakhawi. 24. Al Sya’rani. 25. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Al Imam al Nawawi). 26. Al Hafizh Ibn Al Jazari. 27. Al Imam Muhammad bin Ali al Syaukani. 28. Al Hafizh al Baihaqi 29. Zainuddin Ali bin al-Husain (cucu Rasulallah) 30. Asy-Syihab Mahmud 31. Asy-Syihab Ahmad ad-Dimasyqi 32. Al-Juzuli dalam Dala’il al-Khairat 33. Muhammad al-Makki dalam shalawat Fathur Rasul 34. Muhammad asy-Syanwani, Syaikh Universitas Al-Azhar Cairo Mesir yang juga pengarang syarah Mukhtashar Abi Jamrah 35. Muhammad Wafa asy-Syadzili  
sedang ulama yg melakukan tawasul dalam keterangan kitab yang laen sbg berikut:
1.   Sufyan bin Uyainah (198 H / 813 M) Sufyan bin Uyainah berkata: ada dua laki2 saleh yg dpt menurunkan hujan dg cara bertawassul dg mereka yaitu Ibnu 'Ajlan dan Yazid bin Yadzibin jabir. Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. (kitab al-'illal wa Ma'rifah al-Rijal juz I hal. 163-164 karya Ahmad bin Hanbal)
2.   2 Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M) perkataan Abu Hanifah ketika berziarah ke Madinah dan berdiri di hadapan makam Rosulullah saw. yaitu: "Hai orang yg termulya di antara manusia dan jin dan sebaik-baik makhluk, berilah aku kemurahanmu dan ridloilah aku dg ridlomu. Aku merindukan kemurahan darimu, engkaulah satu2nya harapan Abu Hanifah" (kitab al-Ziyaroh Nabawiyah hal. 56 karya Sayyid Muhammad al-Maliki)
3.   3. Imam Syafii (150-204 H/ 767-819 M) "Dari Ali bin Maimun beliau berkata: Aku telah mendengar Imam Syafii berkata: Aku selalu bertabarruk dg Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dg berziarah setiap hari. Jika aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan sholat 2 rokaat, lalu aku datangi makam beliau dan aku memohon hajat itu kepada Allah di sisi makamnya,sehingga tdk lama kemudian hajatku segera terkabulkan" (kitab Tarikh al-Baghdad juz I hal. 123 dg sanad yg shohih, karya al-Hafidz Abi Bakr Ahmad bin Ali) 4. Abu Ishaq bin Ibrahim bin Ishaq al-Harby (198-285 H/813-898 M) Ibrahim al-Harby berkata: Makam Ma'ruf al-Karkhy adalah obat penawar yg sangat mujarab (maksudnya datanglah ke makam Ma'ruf al-Karkhy, sebab berdo'a di sisinya banyak manfaatnya dan dikabulkan (Kitab Tarikh al-Islam hal.1494 karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman)

  tawassul yg dilakukan oleh ulama' muta'akhirin

 1. Ibnu Huzaimah (223-311 H/ 838-924 M) "Kami berangkat bersama pemuka ahli hadits, Abu Bakr bin Huzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqofy beserta rombongan para guru utk berziarah ke makam Ali Ridlo bin Musa al-Kadzim di Thusi, ia (Abu Bakr bin Mu'ammal) berkata: Aku melihat keta'dliman beliau (Ibnu Huzaimah) thd makam itu,serta sikap tawadlu' terhadapnya dan do'a beliau yg begitu khusyu' di sisi makam itu sampai membuat kami bingung (kitab Tahdzib.... juz 7 hal. 339 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolany)

 2. Abu Qosim al-Thobary (260-360 H/874-971 M) Abu al-Syaikh al-Asbihany (274-369 H/ 897-979 M)dan Abu Bakar bin Muqry al-Asbihany (273-381 H/ 896-991 M) Mereka mengisahkan kondisi mereka dlm keadaan lapar selama satu tahun kurang makan,lalu setelah waktu Isya' mereka bertawasul dan beristighosah dg cara mengunjungi makam Rosulullah saw seraya berkata demikian: "Yaa Rosulullah kami semua lapar dan lapar" dan saat salah satu mau pulang,al-Thobary berkata: Duduklah,kita tunggu datangnya rizki atau kematian, kemudian 2 org teman al-Thobary tidur di sisi makam Rosulullah saw,sedang al-Thobary duduk sambil memandang sesuatu, tiba2 datang seorang lelaki 'alawy (yaitu keturunan Nabi saw) bersama dg 2 budaknya yg masing2 membawa keranjang yg penuh dg makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama, kemudian lelaki 'alawy berkata: Hai kamu apakah kamu semua mengadu kpd Rosulullah? Aku barusan bermimpi bertemu dg Rosulullah saw dan menyuruh aku membawakan makanan untuk kamu sekalian (kitab al-Wafa bi Ahwal al-Musthafa hal.818 karya Ibnu al-Jauzy)

3. Abu Ali al-Husaini bin Ali bin Yazid al-Asbihany (277-349 H/ 900-961 M) beliau berkomentar sebagai berikut: "Al-Hakim berkata bahwa aku telah mendengar Abu Ali al-Naisabury berkata: Pada suatu ketika aku dlm kesusahan yg sangat mendalam,lalu aku bermimpi bertemu Rosulullah saw. dan beliau berkata kpdku: "Pergilah ke makam Yahya bin Yahya (142-226 H/ 759-840 M),bacalah istighfar dan berdo'alah kpd Allah nanti kebutuhanmu akan dikabulkan" Kemudian pagi harinya aku melakukan hal tersebut,lalu kebutuhanku segera dikabulkan (kitab Tahdzib...juz 11 hal. 261 karya Imam Ibnu Hajar al-Asqolani)

4. Ibnu Taimiyah berkomentar dlm kitabnya Al-Kawakib Al Durriyah juz 2 hal. 6 yaitu: "Tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati seperti yg dianggap sebagian orang. Jelas shohih hadits riwayat sebagian sahabat bahwa telah diperintahkan kpd orang2 yg punya hajat di masa Kholifah Utsman untuk bertawasul kpd nabi setelah beliau wafat (berdo'a dan bertawasul di sisi makam Rosulullah) kemudian mereka bertawasul kpd Rosulullah dan hajat mereka terkabul, demikian diriwayatkan al-Thabary"


=============

Sandaran Tawassul Lepas Wafat
KITA menyambung bicara kita tentang tawassul dalam latar kehangatan beberapa isu-isu agama yang timbul dalam masyarakat seperti penangkapan pengikut fahaman Syiah, ancaman faham Pluralisme Agama dan fatwa tentang peguam bukan Islam di Mahkamah Syariah.
Di samping, sikap dan pendirian majoriti umat yang tercermin antara lainnya dalam suara majoriti mufti-mufti, kedengaran juga di sana-sana suara-suara sumbang dan syadz (ganjil/asing). Ada yang mempertikaikan penggunaan undang-undang terhadap aliran menyeleweng malah ada juga ilmuwan yang bukan ulama yang cuba menghujah bahawa Syiah bukanlah aliran yang bermasalah.
Suka kita mengambil kesempatan di sini untuk berpesan kepada diri dan para pembaca sekalian untuk berwaspada terhadap pandangan-pandangan yang menyalahi majoriti umat ini. Khalayak awam yang punya tumpuan dan kehidupan mereka masing-masing tidaklah dibebankan untuk meneliti setiap hujah dan dalil yang cuba dikemukakan. Nanti terhenti dan terganggu pula kehidupan masyarakat. Inilah rahsianya prinsip-prinsip mengutamakan ijmak ataupun suara majoriti umat (sawad al-a’zam) dalam Islam.
Umat Nabi Muhammad SAW tidak akan bersepakat atas suatu yang batil. Bagi orang awam, cukuplah sandarannya untuk menolak pandangan mereka ini dengan bersandar dengan sekian ramai para ulama dan ilmuwan Islam lain yang bersama suara majoriti. Menganggap bahawa semua mereka ini jahil, leka, tersalah ataupun sudah dibeli oleh kepentingan duniawi adalah suatu sikap prasangka yang melampau terhadap Islam dan umat Islam.
Mungkin dalam isu bertawassul ini juga suara-suara yang sama akan membangkang pandangan majoriti yang sedang kami bentangkan. Semoga kita sentiasa ditawfiqkan untuk memakai pandangan yang terbaik.
Bertawassul selepas kewafatan Nabi SAW memang ada sandarannya. Antaranya, telah meriwayatkan Ibnu Abi al Dunya di dalam kitab Mujabi al Du’a', katanya: “Telah menyampaikan kepada kami Abu Hasyim, aku mendengar Kathir ibnu Muhammad ibnu Kathir ibnu Rifa’ah berkata ‘telah datang seorang lelaki kepada Abdul Malik ibnu Sa’id ibnu Abjar, lalu dia memerhatikan perutnya dan berkata, “Kamu mengidap satu penyakit kronik yang sukar untuk sembuh.” Katanya: “Penyakit apakah yang aku hidapi?” Jawabnya: “Al Dubailah, iaitu kanser dan bisul besar yang tumbuh dalam perut. Biasanya, ia boleh meragut nyawa orang yang menghidapnya.”
Beliau berkata: “Maka lelaki itu berpaling dan berdoa: “Allah, Allah, Allah adalah Tuhanku, aku tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Ya Allah! Sesungguhnya aku bertawajjuh kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad; Nabi pembawa rahmat SAW, wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu dan Tuhanku agar Dia merahmatiku (dengan menyembuhkan) penyakit yang menimpaku.”
Ibnu Rifa’ah berkata: “Abdul Malik ibnu Said menyentuh perut lelaki itu, lalu berkata, ‘kamu telah pun sembuh dan penyakit itu tidak ada lagi padamu’.”
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Doa ini dan doa lain yang sepertinya, telah diriwayatkan, bahawa ia telah digunakan oleh Salaf. (Ibnu Taimiyyah, Qa’idah Jalilah fi al Tawassul wa al Wasilah H: 91).”
Kita sedia maklum, bahawa Ibnu Taimiyyah mengetengahkan hadis ini untuk menjelaskan maksudnya dan memfokuskannya seperti mana yang dikehendakinya. Namun, yang penting bagi kita di sini ialah pengakuannya bahawa Salaf telah menggunakan doa sedemikian dan terhasilnya penyembuhan dengan doa tersebut. Inilah ketetapan daripada permasalahan ini yang penting bagi kita. Adapun ta’liq (komen)nya ke atas hadis ini, ia hanya pendapatnya sahaja. Bagi kami, itu tidak penting kecuali adanya penetapan nas untuk dijadikan dalil atas apa yang kami inginkan, dan Syeikh Ibnu Taimiyyah juga berhak menggunakan hadis tersebut sebagai dalil sebagaimana yang diingininya.
Sebahagian daripada mereka berbunyi dan bersuara lantang mengenai hadis Tawassul Nabi Adam AS dan hadis Uthman ibnu Hunaif RA dan lain-lainnya. Mereka beria-ia menolaknya dengan segala kekuatan, berdebat, berdialog, berdiri dan duduk serta melakukan bermacam-macam cara. Semua yang mereka lakukan tidak ada faedahnya kerana walau bagaimana hebat sekalipun usaha mereka untuk menolak hadis-hadis yang berkaitan dengan bab ini, ulama besar terlebih dahulu telah pun mengemukakan pendapat mereka.
Ternyata ulama-ulama besar tersebut lebih sempurna akalnya, lebih luas ilmunya, lebih jauh pengalamannya, lebih dalam kefahamannya dan lebih banyak cahaya, ketakwaan dan keikhlasannya daripada mereka. Misalnya, Imam Ahmad ibnu Hanbal RH. Beliau berkata mengenai keharusan bertawassul sebagaimana yang dinaqalkan daripadanya oleh Ibnu Taimiyyah dan al ‘Iz Ibnu Abdul Salam. Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan di dalam salah satu pendapatnya tentang keharusan bertawassul secara khusus dengan Nabi SAW. Kemudian diikuti pula, oleh Muhammad ibnu Abdul Wahhab yang menafikan tuduhan bahawa dia mengkafirkan orang yang bertawassul. Bahkan, jelas di dalam kitab Fatawanya, beliau menegaskan bahawa tawassul hanyalah menyentuh masalah cabang agama dan bukannya berkaitan tentang masalah usul. Semuanya ini akan diperincikan di dalam kitab Mafahim yang kita bentangkan sedutannya di sini, insya-Allah.
Dalam hal ini, Syeikh al Allamah al Muhaddith Abdullah al Ghumari telah menulis sebuah risalah khusus yang membicarakan tentang hadis ini yang diberi tajuk, Misbah al Zujajah fi Fawaid Solat al Hajah. Beliau telah mengupasnya dengan kupasan yang amat baik dan berguna, bahkan telah menghasilkan sesuatu yang mampu menyembuhkan dan mencukupkan pelbagai keperluan. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
- Panel Penyelidikan Yayasan Sofa, Negeri Sembilan

Bertawassul selepas kewafatan Nabi SAW
Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA, NEGERI SEMBILAN
SESUDAH kita menghuraikan tentang bolehnya bertawassul dengan Nabi SAW sebelum hayat Baginda SAW, mari pula kita melihat hukum tawassul semasa hayatnya dan selepas wafat Baginda SAW. Untuk itu marilah kita merujuk kepada beberapa dalil utama yang berkaitan.
Diriwayatkan daripada Uthman ibn Hunaif RA berkata: Aku mendengar, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah SAW, lalu mengadu tentang penglihatannya yang hilang. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! “Doakanlan keafiatan untukku.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jikalau kamu mahu, aku akan lewatkannya (tidak mendoakannya supaya dia dapat balasannya di Akhirat) dan jikalau kamu mahu, aku akan mendoakan keafiatan untuk kamu.” Lelaki itu menjawab “Doakanlah.” Maka Baginda SAW menyuruh lelaki buta itu berwuduk dan memperelokkan wuduknya serta melakukan solat dua rakaat, kemudian berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawajjuh kepada-Mu dengan (hak) Nabi-Mu; Muhammad SAW; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad! Sesungguhnya aku bertawajjuh denganmu kepada Tuhanmu, agar engkau tunaikan hajatku ini. Ya Allah! Syafaatkanlah dia untukku dan syafaatkanlah aku padanya.”
Telah berkata al-Hakim: Hadis ini adalah sohih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh al Bukhari dan Muslim (Al Mustadrak, Jld 1, H: 519). Telah berkata al-Zahabi tentang hadis ini: Ia adalah sohih. Telah berkata al-Tirmizi di dalam bab-bab Berdoa di bahagian akhir kitab Sunannya: Ini ialah hadis hasan sohih gharib, kami tidak mengetahuinya melainkan daripada wajah ini daripada hadis Abu Ja’far, dan dia bukan al Khatmi.
Aku berkata: Yang benarnya, Abu Ja’far ialah al Khatmi al Madani sebagaimana yang didatangkan dengan jelas di dalam riwayat-riwayat al-Tabrani, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Tabrani menambah di dalam al Mu’jam al Soghir bahawa namanya ialah ‘Umair ibn Yazid dan dia adalah seorang yang thiqah (dipercayai).
Telah berkata al ‘Allamah al Muhaddith Abdullah ibn Siddiq al Ghumari di dalam risalahnya Ittihaf al Azkiya’: Tidak diterima akal, para hafiz bersatu di dalam mentashihkan hadis yang ada di dalamnya sanadnya yang majhul, terutamanya al-Zahabi, al-Munziri dan al-Hakim.
Telah berkata al-Munziri: Ia juga diriwayatkan oleh al-Nasaie, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di dalam Sohihnya.(al Targhib wa al Tarhib pada kitab al Nawafil, bab al Targhib fi Solat al Hajah (Jld 1, H: 474).
Kesimpulan daripada kisah yang diberikan, Uthman ibn Hunaif RA yang merupakan periwayat hadis ini dan menyaksikan kisah tersebut, telah mengajar orang yang mengadu kepadanya tentang kelewatan Khalifah Uthman RA menunaikan hajatnya doa ini yang terkandung di dalamnya tawassul dengan Nabi SAW dan seruan kepada Baginda SAW untuk meminta tolong dengan Baginda SAW selepas kewafatannya. Setelah lelaki itu menyangka bahawa hajatnya terlaksana disebabkan pemberitahuan Uthman ibn Hunaif RA kepada Khalifah RA, lekas-lekas Uthman ibn Hunaif RA menafikannya. Lantas beliau menceritakan kepadanya tentang peristiwa yang telah didengari dan dilihatnya untuk menjelaskan bahawa hajatnya diterima kerana tawassul, doa dan istighathahnya dengan Rasulullah SAW. Bahkan, dia menguatkan lagi hal tersebut dengan sumpahnya bahawa dia tidak memberitahu khalifah tentang aduan lelaki itu. Maka jelaslah bahawa ada asas yang kukuh bagi membolehkan bahkan menggalakkan bertawassul dengan Nabi SAW semasa hayatnya dan selepas wafat Baginda SAW.
SUMBER : http://www.utusan.com.my/

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah tiada
Sumber:
Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan ra yang bernama Hasan Al-Mutsana.


Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atas petunjuk Sayyidah ‘Aisyah
Al Imam Al Hafidh Al Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu Shallallahu ‘alaihi wasallam ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk ( unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk ).” Sunan Al Daarimi vol. I hlm 43.

Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.

Takhrij al hadits:
Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam Al Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah (kacau fikiran) di usia tua. 
Pendapat saya kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman. 
Al Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya ?” ( Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8).

Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.
Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribu Al Raawi). 

Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Al Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim.

Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik.
Para ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini. 

Sayyidah ‘Aisyah dan sikap beliau terhadap kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang notabene shahabat perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah para ulama shahabat.

Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menyayangi dan mensyafa`ati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafa`atnya akan diberi syafa`at oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah.

Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan. Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya sampai sesudah wafat.

Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar.  (HR Ahmad). Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal.7).

‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka. 

Nabi bersabda kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman : فلعلك تمر بقبري ومسجدي "Barang kali engkau akan melewati kuburan dan masjidku ini." (HR Ahmad dan Thabarani).  Para perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ).
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan Mu’adz mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibnu Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis? tanya ‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu :  اليسير من الرياء شرك  "Sedikit dari riya adalah syirik." Hakim berkata, Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki ‘illah. Adz Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4 ). Al Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas diriwayat kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al Hakim. ( vol. 1 hal. 32 ).

Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada era Khalifah ‘Umar ra
Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.”
Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata : ائت عمر فاقرئه مني السلام وأخبرهم أنهم مسقون , وقال له : عليك بالكيس الكيس“Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar : “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”.  
Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” Kata ‘Umar. (Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. I hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa).  Saif dalam Al Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bilal ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad hadits ini dalam pandangan Ibnu Hajar Shahih. (Shahih Al Bukhari Kitaabul Istisqaa’ / Fathul Baari vol. II hlm. 415).

Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka, bahwa tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al ‘Asqalani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara para pakar hadits tidak perlu dijelaskan lagi. 

Tawassul kaum muslimin dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Yamamah
Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan “Yaa Muhammadaah”. Ibnu Katsir juga menulis sebagai berikut : Khalid ibn Al Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailamah dan bergerak menuju Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah “Yaa Muhammadaah”.  (Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm. 324 ).

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sakit dan mengalami musibah
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram.
“Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya.
“Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 165 ). Tawassul menggunakan ungkapan Ya Muhammad adalah tawassul dalam bentuk panggilan.

Tawassul dengan firgur selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata :  إذا أضل أحدكم شيئا أو أراد عونا وهو بأرض ليس بها أنيس فليقل : ياعباد الله أعينوني فإن الله عبادا لا نراهم.
“Jika salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.”

Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إن لله ملائكة في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر , فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فلبناد : "أعينوني ياعباد الله !
“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah : "Bantulah aku, wahai para hamba Allah."  Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.

Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة فليناد : \"ياعباد الله , احبسوا ! ياعباد الله , احبسوا !\" فإن لله حاضرا في الأرض سيحبسه.
“Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu Ya’la dan Al Thabarani yang memberikan tambahan : وسيحبسه عليكم “Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.”
Dalam hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.

Terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah dua rakaat fajar membaca : اللهم رب جبريل واسرفيل وميكائيل ومحمد النبي صلى الله عليه وسلم أعوذ بك من النار
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.” Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al Hafidh mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu ‘Ilaan vol. II hlm 139.
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata, "Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan seterusnya…."

Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al Adzkaar. “Tawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan seraya menta’liq hadits Allaahumma Innii As’aluka bi Haqqissaailin,“ Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para pemohon / suka berdoa. Disamakan dengan mereka adalah para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih.

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

ALLAH ADA TANPA TEMPAT (MASALAH ISTIWA' MNRT 4 MADZHAB)

بيان أن الأئمة الأربعة على التنـزيه في مسئلة الاستواء 

Penjelasan bahwa sesungguhnya para Imam madzhab 4 berpegang pada tanzih dalam masalah istiwa

* ثبت عن الإمام مالك رضي الله عنه ما رواه الحافظ البيهقي في كتابه (( الأسماء والصفات ))(ص 408 ) ، بإسناد جيد كما قال الحافظ في (( الفتح )) (ج13/406-407) من طريق عبد الله بن وهب قال : كنا عند مالك بن أنس فدخل رجل فقال : يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استواؤه؟ قال: فأطرق مالك وأخذته الرحضاء ثم رفع رأسه فقال : الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وأنت رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه ، قال : فأخرج الرجل "اهـ

فقول الإمام مالك : (( وكيف عنه مرفوع )) أي ليس استواؤه على العرش كيفًا أي هيئة كاستواء المخلوقين من جلوس ونحوه . وقوله :" أنت رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه"، وذلك لأن الرجل سأله بقوله كيف استواؤه ، ولو كان الذي حصل مجرد سؤال عن معنى هذه الآية مع اعتقاد أنها لا تؤخذ على ظاهرها ما كان اعترض عليه .

وروى الحافظ البيهقي في الأسماء والصفات (ص 408) من طريق يحيى بن يحيى قال :((" كنا عند مالك بن أنس فجاء رجل فقال : يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى فكيف استوى ؟ قال : فأطرق مالك رأسه حتى علاه الرحضاء ثم قال :الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وما أراك إلا مبتدعا فأمر به أن يخرج" ، قال البيهقي : وروي في ذلك أيضا عن ربيعة بن عبد الرحمن أستاذ مالك بن أنس رضي الله عنهما )) ا هـ .

قال المحدث الشيخ سلامة العزامي– من علماء الأزهر - (فرقان القرءان بين صفات الخالق وصفات الأكوان ص 22): " قول مالك عن هذا الرجل (( صاحب بدعة )) لأن سؤاله عن كيفية الاستواء يدل على أنه فهم الاستواء على معناه الظاهر الحسي الذي هو من قبيل تمكن جسم على جسم واستقراره عليه وإنما شك في كيفية هذا الاستقرار. فسأل عنها وهذا هو التشبيه بعينه الذي أشار إليه الإمام بالبدعة " ا هـ.

قلنا : وهذا فيمن سأل كيف استوى فما بالكم بالذي فسره بالجلوس والقعود والاستقرار؟ ثم إن الإمام مالكا عالم المدينة وإمام دار الهجرة نجم العلماء أمير المؤمنين في الحديث رضي الله عنه ينفي عن الله الجهة كسائر أئمة الهدى ، فقد ذكر الإمام العلامة قاضي قضاة الإسكندرية ناصر الدين بن المنير المالكي من أهل القرن السابع الفقيه المفسر النحوي الأصولي الخطيب الأديب البارع في علوم كثيرة في كتابه (( المقتفى في شرف المصطفى)) لما تكلم عن الجهة وقرر نفيها ، قال : ولهذا المعنى أشار مالك رحمه الله في قوله صلى الله عليه وسلم : " لا تفضلوني على يونس بن متى" ( رواه البخاري)، فقال مالك: إنما خص يونس للتنبيه على التنـزيه لأنه صلى الله عليه وسلم رُفع إلى العرش ويونس عليه السلام هُبط على قابوس البحر ونسبتهما مع ذلك من حيث الجهة إلى الحق جل جلاله نسبة واحدة ، ولو كان الفضل بالمكان لكان عليه الصلاة والسلام أقرب من يونس بن متى وأفضل مكانا ولما نهى عن ذلك"اهـ ، ثم أخذ الفقيه ناصر الدين يبين أن الفضل بالمكانة لا بالمكان )) ا هـ.

ونقل ذلك عنه أيضا الإمام الحافظ تقي الدين السبكي الشافعي في كتابه (( السيف الصقيل )) (ص 137) والإمام الحافظ محمد مرتضى الزبيدي الحنفي في (( إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين )) (ج2/105) وغيرهما .

وأما ما يرويه سريج بن النعمان عن عبد الله بن نافع عن مالك أنه كان يقول :" الله في السماء وعلمه في كل مكان" ، فغير ثابت . قال الإمام أحمد : عبد الله بن نافع الصائغ لم يكن صاحب حديث وكان ضعيفا فيه .قال ابن عدي: يروي غرائب عن مالك ، وقال ابن فرحون : كان أصم أميا لا يكتب . وراجع ترجمة سريج وابن نافع في كتب الضعفاء، وبمثل هذا السند لا ينسب إلى مثل مالك مثل هذا .

فبان مما ذكرناه أن ما تنسبه المشبهة للإمام مالك تقوٌّلٌ عليه بما لم يقُل .

*وسئل الإمام أبو حنيفة رضي الله عنه عن الاستواء فقال : (( من قال لا أعرف الله أفي السماء هو أم في الأرض فقد كفر )) (الفقه الأبسط ص 49)، لأن هذا القول يوهم أن للحق مكانا ومن توهم أن للحق مكانا فهو مشبه . وهذا القول ثابت عن الإمام أبي حنيفة نقله من لا يحصى كالإمام ابن عبد السلام في حل الرموز والإمام تقي الدين الحصني في (( دفع شبه من شبه وتمرد )) (ص 18) والإمام أحمد الرفاعي في (( البرهان المؤيد )) (ص 24) وغيرهم .

وأما ما قاله المجسم ابن القيم في نونيته :

كذلك قال النعمان وبعده يعقوب والألفاظ للنعمان

من لم يقر بعرشه سبحانه فوق السماء وفوق كل مكان

ويقر أن الله فوق العرش لا يخفى عليه هواجس الأذهان

فهو الذي لا شك في تكفيره لله درك من إمام زمان

هو الذي في الفقه الأكبر عندهم وله شروح عدة لبيان

نقول : إن هذا المجسم يريد أن يروج بدعته هذه بالكذب على الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه . وهذا الفقه الأكبر بين أيدينا فليراجعه من شاء، وغير غريب أن يكذب هذا الرجل فإنه مبتدع داعية إلى بدعته غال فيها كل الغلو وكل مبتدع هذا شأنه لا يتوقى الكذب لينصر بدعته ، فهذا (( الفقه الأكبر)) (ص 30 - 31) فيه : (( والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق أنه لا شريك له لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد لا يشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شئ من خلقه )) وفيه أيضا (ص 136-137): (( ويراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كيفية ولا كمية ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة )) ، وفي " الوصية" للإمام (انظر شرح الفقه الأكبر ص 138) : (( لقاء الله تعالى لأهل الجنة حق بلا كيفية ولا تشبيه ولا جهة )) ، وفي (( الوصية )) (انظر شرح الفقه الأكبر ص 70) : ((نقر بأن الله على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه وهو الحافظ للعرش وغير العرش من غير احتياج ، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوق ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله تعالى ! تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا" اهـ.

وفي (( الفقه الأبسط ))(ص 57) :" كان الله ولا مكان كان قبل أن يخلق الخلق كان ولم يكن أين ولا خلق ولا شئ وهو خالق كل شئ"اهـ

وقال أيضا : (( فمن قال لا أعرف ربي أفي السماء هو أم في الأرض فهو كافر ، كذلك من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض)) اهـ.

وإنما كفر الإمام قائل هاتين العبارتين لأنه جعل الله مختصا بجهة وحيز وكل ما هو مختص بالجهة والتحيز فإنه محتاج محدث بالضرورة أي بلا شك، وليس مراده كما زعم المشبهة إثبات أن السماء والعرش مكان لله تعالى، بدليل كلامه السابق الصريح في نفي الجهة عن الله – وقد نقلنا ذلك-، ومن ذلك قوله : ((ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان !)). ففي هذه إشارة من الإمام رضي الله عنه إلى إكفار من أطلق التشبيه والتحيز على الله كما قال العلامة البياضي الحنفي في (( إشارات المرام )) (ص 200) والشيخ الكوثري في ((تكملته )) (ص 180) وغيرهما .

وفي (( شرح الفقه الأكبر )) (ص 197-198) لملا علي القاري : (( وما روي عن أبي مطيع البلخي أنه سأل أبا حنيفة رحمه الله عمن قال لا أعرف ربي في السماء هو أم في الأرض ، فقال: قد كفر لأن الله تعالى يقول : {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [سورة طه ] ، وعرشه فوق سبع سمواته ، قلت : فإن قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض !، قال : هو كافر لأنه أنكر كونه في السماء فمن أنكر كونه في السماء فقد كفر لأن الله تعالى في أعلى عليين وهو يدعى من أعلى لا من أسفل )) اهـ.

والجواب أنه ذكر الشيخ الإمام ابن عبد السلام في كتابه (( حل الرموز)) أن الإمام أبا حنيفة قال : (( من قال لا أعرف الله تعالى في السماء هو أم في الأرض كفر لأن هذا القول بوهم أن للحق مكانا ومن توهم أن للحق مكانا فهو مشبه )) اهـ ولا شك أن ابن عبد السلام من أجل العلماء وأوثقهم فيجب الاعتماد على نقله لا على ما نقله الشارح شارح عقيدة الطحاوي ، مع أن أبا مطيع رجل وضاع عند أهل الحديث كما صرح به غير واحد)) انتهى كلام ملا علي القاري .

قال الشيخ مصطفى أبو السيف الحمامي في كتابه (( غوث العباد ببيان الرشاد )) ( ص 341-342): (( ومن هذا الكلام يعلم أمور منها :

الأمر الأول: أن تلك المقالة ليست في (( الفقه الأكبر)) ، وإنما نقلها عن أبي حنيفة رحمة الله عليه ناقل فيكون إسنادها إلى الفقه الأكبر كذبا يراد به ترويج البدعة.

الأمر الثاني: أن هذا الناقل مطعون فيه بأنه وضاع لا يحل الاعتماد عليه في نقل يبنى عليه حكم فرعي فضلا عن أصلي فالاعتماد عليه وحاله ماذكر خيانة يريد الرجل بها أن يروج بدعته .

الأمر الثالث : أن هذا الناقل صرح به إمام ثقة هو ابن عبد السلام بما يكذبه عن أبي حنيفة رحمة الله عليه بالنقل الذي نقله عن هذا الإمام الأعظم رضي الله عنه، فاعتماد الكذاب وإغفال الثقة خيانة يراد به تأييد بدعته وهي جرائم تكفي واحدة منها فقط لأن تسقط الرجل من عداد العدول العاديين لا أقول من عداد العلماء أو أكابر العلماء أو الأئمة المجتهدين ، ويعظم الأمر إذا علمنا أن الخيانات الثلاث في نقل واحد وهو مما يرغم الناظر في كلام هذا الرجل على أن لا يثق بنقل واحد ينقله فإنه لا فرق بين نقل ونقل ، فإذا ثبت خيانته في هذا جاز أن تثبت في غيره وغيره )) انتهى كلام الحمامي .

وأما ما نسبه المجسم ابن القيم إلى يعقوب وهو الإمام أبو يوسف صاحب الإمام أبي حنيفة رضي الله عنهما ، قال الشيخ مصطفى الحمامي – من علماء الأزهر – (ص 342) : (( لا شك أنه كذب يروج به هذا الرجل بدعته )) ا هـ

وكذا قال الكوثري في (( تكملته ))(ص 108) .

فبهذا ينتسف ما قاله المجسم ابن القيم وكذلك ما تنسبه الوهابية إلى أبي حنيفة أنه قال : (( الله في السماء )) فغير ثابت ففي سنده أبو محمد بن حيان ونعيم بن حماد (انظر تهذيب التهذيب ج10/409)) ونوح بن أبي مريم أبو عصمة (انظر تهذيب التهذيب ج10/433)، فالأول ضعفه بلديُّه الحافظ العسال . ونعيم بن حماد مجسم. وكذا زوج أمه نوح ربيب مقاتل بن سليمان شيخ المجسمة . فنوح أفسده زوج أمه ونعيم أفسده زوج أمه ، وقد ذكره كثير من أئمة أصول الدين في عداد المجسمة ، فأين التعويل على رواية مجسم فيما يحتج به لمذهبه ؟!، قال الحافظ ابن الجوزي في (( دفع شبه التشبيه)) (الباز الأشهب ص 69-70) عن نعيم بن حماد : " قال ابن عدي (الكامل في الضعفاء ج 7/16 ) : كان يضع الأحاديث وسئل عنه الإمام أحمد فأعرض بوجهه عنه وقال : حديث منكر مجهول " ا هـ.

فإن قالت الوهابية : ذكره الذهبي نقلا عن البيهقي في (( الأسماء والصفات)).

قلنا : رواه البيهقي في (( الأسماء والصفات )) (ص 429) وقال : (( إن صحت الحكاية ))، فهذا يدل على عدم أمانة الذهبي في النقل حيث أغفل هذا القيد ليوهم القارئ أن القول بأن الله في السماء كلام إمام مثل أبي حنيفة .

قال الشيخ الكوثري في تكملته (ص 180) : ((وقد أشار البيهقي بقوله : (( إن صحت الحكاية)) إلى ما في الرواية من وجوه الخلل )) ا هـ.

على أن الإمام البيهقي ذكر في (( الأسماء والصفات )) في كثير من المواضع أن الله منـزه عن المكان والحد ومن ذلك قوله (ص 400) :

(( واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه – تعالى – بقول النبي صلى الله عليه وسلم : (( أنت الظاهر فليس فوقك شئ وأنت الباطن فليس دونك شئ )) (رواه مسلم) وإذا لم يكن فوقه شئ ولا دونه شئ لم يكن في مكان )) ا هـ.

وقوله (ص 415) : (( وما تفرد به الكلبي وأمثاله يوجب الحد والحد يوجب الحدث لحاجة الحد إلى حاد خصه به والبارئ قديم لم يزل ))ا هـ.

وقوله (ص 448-449) : ((وانّ الله تعالى لا مكان له )) ، ثم قال : (( فإن الحركة والسكون والاستقرار من صفات الأجسام والله تعالى أحد صمد ليس كمثله شئ )) اهـ.

فوضح بعد هذا البيان الشافي أن دعوى إثبات المكان لله تعالى أخذا من كلام أبي حنيفة رضي الله عنه افتراء عليه وتقويل له بما لم يقل .

*وقال إمامنا الشافعي رضي الله عنه لما سئل عن الاستواء : (( ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك ))اهـ

ذكره الإمام أحمد الرفاعي في (( البرهان المؤيد)) (ص 24) والإمام تقي الدين الحصني في ((دفع شبه من شبه وتمرد )) (ص 18) وغيرهما كثير ، وقال أيضا : (( ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله )). ذكره الإمام المحدث عبد الله الهرري في كتابه (( الصراط المستقيم ))(50) والإمام الحصني في (( دفع شبه من شبه وتمرد)) (ص 56) والشيخ سلامة العزامي وغيرهم ، ومعناه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية والجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.

ولما سئل عن صفات الله تعالى قال : (( حرام على العقول أن تمثل الله تعالى وعلى الأوهام أن تحد وعلى الظنون أن تقطع وعلى النفوس أن تفكر وعلى الضمائر أن تعمق وعلى الخواطر أن تحيط إلا ما وصف به نفسه – أي الله – على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم )). اهـ

ذكره الشيخ ابن جهبل في رسالته(انظر طبقات الشافعية الكبرى ج 9/40 ) في نفي الجهة عن الله التي رد فيها على المجسم ابن تيمية.

وقــــال الإمـــــام المجتهد محمد بن إدريــــس الشـــــافعي رضي الله عنه ما نصه: "إنه تعالى كــــان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كــــــان قبل خلقــــــه المكــــــانَ لا يجوز عليه التغييرُ في ذاته ولا التبديل في صفاته" اهـ. كما نقله عنه الزبيدي فـي كتابه (إتحاف السادة المتقين ج 2/24)

وقال الشافعي رضي الله عنه أيضا جامعا جميع ما قيل في التوحيد : (( من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحد)) (انظر شرح الفقه الأكبر ص 152 ).

قلنا : ما أدقها من عبارة وما أوسع معناها شفى فيها صدور قوم مؤمنين فرضي الله عنه وجزاه عنا وعن الإسلام خيرا وقد أخذها من قوله تعالى : {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى] ، ومن قوله عز وجل : { فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل] . ومن قوله تعالى :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم] ،ومن قوله تعالى : {أَفِي اللّهِ شَكٌّ} [سورة إبراهيم] . وكل هذا يدل على أن الإمام الشافعي رضي الله عنه على تنـزيه الله عما يخطر في الأذهان من معاني الجسمية وصفاتها كالجلوس والتحيز في جهة وفي مكان والحركة والسكون ونحو ذلك، نعم فقد روى السيوطي ( الأشباه والنظائر ص 598 ) وغيره أن الإمام الشافعي قال : (( المجسم كافر )) .

قال الشيخ الإمام المتكلم ابن المعلم القرشي في كتابه (( نجم المهتدي ))(ق/287 مخطوط) ما نصه : (( نقلا عن الشيخ الإمام أقضى القضاة نجم الدين في كتابه المسمى (( كفاية النبيه في شرح التنبيه )) في قول الشيخ أبي إسحاق رضي الله عنه في باب صفة الأئمة :ولا تجوز الصلاة خلف كافر لأنه لا صلاة له فكيف يقتدى به )). قال : (( وهذا يفهم من كفره مجمع عليه ومن كفرنا من أهل القبلة كالقائلين بخلق القرءان وبأنه لا يعلم المعدومات قبل وجودها ومن لم يؤمن بالقدر وكذا من يعتقد أن الله جالس على العرش كما حكاه القاضي حسين هنا عن نص الشافعي رضي الله عنه )) اهـ

وأما ما ترويه المشبهة عن الشافعي مما هو خلاف العقيدة السنية ففي سنده أمثال العشارى وابن كادش . أما ابن كادش فهو أبو العز بن كادش أحمد بن عبيد الله المتوفى سنة 526هـ من أصحاب العشارى اعترف بالوضع ، راجع الميزان (ج1/118) وحكم مثله عند أهل النقد معروف . وأما العشارى فهو أبو طالب محمد بن علي العشارى المتوفى سنة 452 هـ مغفل وقد راجت عليه العقيدة المنسوبة إلى الشافعي كذبا وكل ذلك باعتراف الذهبي نفسه في الميزان (ج3/656) وغيره ، وكذا ما ينسب للشافعي

(( وصية الشافعي )) فهو رواية أبي الحسن الهكاري المعروف بوضعه كما هو معروف في كتب الجرح والتعديل (انظر ميزان الاعتدال ج3/112 و ذيل تاريخ بغداد ج18 / 173 لابن النجار) ، فليحذر تمويهات المجسمة فإن هذا دأبهم ذكر ما يوافق هواهم وإن كان كذبا وباطلا.

*وسئل الإمام أحمد رضي الله عنه عن الاستواء فقال : (( استوى كما أخبر لا كما يخطر للبشر )) ذكره الإمام أحمد الرفاعي في (( البرهان المؤيد )) (ص 24) والإمام الحصني في (( دفع شبه من شبه وتمرد ونسب ذلك على السيد الجليل أحمد )) (ص 17) ، وغيرهما .

فانظر رحمك الله بتوفيقه إلى هذه العبارة ما أرشقها فهي اعتقاد قويم ومنهاج سليم إذ فيها تنـزيه استواء الله على العرش عما يخطر للبشر من جلوس واستقرار ومحاذاة ونحو ذلك ، أما المشبهة ففسروا الاستواء بما يخطر في أذهانهم في جلوس وقعود ونحو ذلك ، وهذا فيه دليل على تبرئة الإمام أحمد رضي الله عنه من المنتسبين إليه زورا الذين يحرفون كلمة ((استوى )) فيقولون جلس ، قعد ، استقر ، تعالى الله عما يقول الظالمون علوا كبيرا كالمجسم ابن تيمية حيث صرح في (( مجموع الفتاوى )) (ج4/374) فقال : ((إن محمدا رسول الله يجلسه ربه على العرش معه )) ا هـ . وقال فيما رءاه الإمام أبو حيان الأندلسي بخطه:(( إن الله يجلس على الكرسي وقد أخلى مكانا يقعد فيه رسول الله )) ا هـ كما في (( النهر الماد )) (ج1/254) إلى غير ذلك من تخريفاته وتحريفاته.

والإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه من أبعد الناس عن نسبة الجسم والجهة والحد والحركة والسكون إلى الله تعالى ، فقد نقل أبو الفضل التميمي رئيس الحنابلة ببغداد وابن رئيسها في كتابه (( اعتقاد الإمام أحمد )) (ص 45) عن الإمام أحمد أنه قال : (( وأنكر – يعني أحمد- على من يقول بالجسم وقال إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة ، وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم على ذي طول وعرض وسمك وتركيب وصورة وتأليف والله تعالى خارج عن ذلك كله، فلم يجز أن يسمى جسما لخروجه عن معنى الجسمية ولم يجئ في الشريعة ذلك فبطل )) اهـ ونقله الحافظ البيهقي عنه في ((مناقب أحمد )) (ص 42). ونقل أبو الفضل التميمي في كتاب (( اعتقاد الإمام أحمد )) (ص 38 -39) عن الإمام أنه قال : (( والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش ، وكان ينكر- الإمام أحمد – على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة )) اهـ

وبين الإمام الحافظ ابن الجوزي الحنبلي في كتابه (( دفع شبه التشبيه )) (ص 56) براءة أهل السنة عامة والإمام أحمد خاصة من مذهب المشبهة وقال: (( وكان أحمد لا يقول بالجهة للبارئ )) انتهى بحروفه .

وقال القاضي بدر الدين بن جماعة في كتابه (( إيضاح الدليل في قطع حجج أهل التعطيل (ص 108) إن الإمام أحمد كان لا يقول بالجهة للبارئ تعالى ))ا هـ.

وعبارته المشهورة التي رواها عنه أبو الفضل التميمي الحنبلي " مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك " دليل على نصاعة عقيدته وأنه على عقيدة التنـزيه.

وقال المحدث الفقيه بدر الدين الزركشي في كتابه (( تشنيف المسامع )) (ج4/648) : (( ونقل صاحب الخصال من الحنابلة عن أحمد أنه قال عن من قال جسم لا كالأجسام كفر )) اهـ.

وروى الحافظ البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل عن أحمد بن حنبل تأول قول الله { وَجَاء رَبُّكَ } [سورة الفجر ] أنه جاء ثوابه ، ثم قال البيهقي : (( وهذا إسناد لا غبار عليه )). نقل ذلك ابن كثير في تاريخه (ج10/648) .

وقال الحافظ البيهقي أيضا في (( مناقب أحمد )) : (( أنبأنا الحاكم قال حدثنا أبو عمرو بن السماك قال حدثنا حنبل ابن إسحاق قال سمعت عمي أبا عبد الله – يعني أحمد – يقول : ((احتجوا علي يومئذ – يعني يوم نوظر في دار أمير المؤمنين – فقالوا تجيء سورة البقرة يوم القيامة وتجيء سورة تبارك، فقلت لهم : إنما هو الثواب قال الله تعالى : { وَجَاء رَبُّكَ } [سورة الفجر] إنما يأتي قدرته وإنما القرءان أمثال ومواعظ . قال الحافظ البيهقي : وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنـزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته فإنهم لما زعموا أن القرءان لو كان كلامَ الله وصفةً من صفات ذاته لم يجز عليه المجيء والإتيان فأجابهم أبو عبد الله بأنه إنما يجيء ثواب قراءته التي يريد إظهارها يومئذ فعبر عن إظهاره إياه بمجيئه ، وهذا الذي أجابهم به أبو عبد الله لا يهتدي إليه إلا الحذاق من أهل العلم المنزهون عن التشبيه )) ا هـ.

وقال الإمام المحدث الشيخ عبد الله الهرري (المقالات السنية ص 194): (( وهذا دليل على أن الإمام أحمد رضي الله عنه ما كان يحمل ءايات الصفات وأحاديث الصفات التي توهم أن الله متحيز في مكان أو أن له حركة وسكونا وانتقالا من علو إلى سفل على ظواهرها كما يحملها ابن تيمية وأتباعه فيثبتون اعتقادا التحيز لله في المكان والجسمية ويقولون لفظا ما يموهون به على الناس ليظن بهم أنهم منـزهون لله عن مشابهة المخلوق فتارة يقولون (( بلا كيف )) كما قالت الأئمة وتارة يقولون (( على ما يليق بالله )) ، نقول : لو كان الإمام أحمد يعتقد في الله الحركة والسكون والانتقال لترك الآية على ظاهرها وحملها على المجيء بمعنى التنقل من علو وسفل كمجيء الملائكة ، وما فاه بهذا التأويل )) . انتهى بحروفه .

وورد في صحيفة2/196 من الفتوحات الربّانية على الأذكار النووية للعالم المفسّر محمد بن علاّن الصدّيقي الشافعي الأشعري المكّي المتوفّى سنة 1057 هجرية رحمه الله تعالى في باب الحثّ على الدعاء والإستغفار في النصف الثاني من كلّ ليلة ما نصّه: وأنّه تعالى منـزّه عن الجهة والمكان والجسم وسائر أوصاف الحدوث، وهذا معتقد أهل الحقّ ومنهم الإمام أحمد وما نسبه إليه بعضهم من القول بالجهة أو نحوها كذب صراح عليه وعلى أصحابه المتقدمين كما أفاده ابن الجوزي من أكابر الحنابلة .انتهى بحروفه.

وذكر الحافظ ابن عساكر رحمه الله تعالى في تبيين كذب المفتري فيما نُسب إلى الإمام أبي الحسن الأشعري صحيفة 164 : ذكر ابن شاهين قال : رجلان صالحان بُليا بأصحاب سوء، جعفر بن محمد، وأحمد بن حنبل.اهـ

وذكر في صحيفة 144 من الفتاوى الحديثية لإبن حجر الهيتمي المُتوفّى سنة 973 هجرية : عقيدة إمام السُنّة أحمد بن حنبل: هي عقيدة أهل السُنّة والجماعة من المبالغة التامّة في تنـزيه الله تعالى عمّا يقول الظالمون والجاحدون عُلُوّا كبيرا مِن الجهة والجسمية وغيرهما مِن سائر سمات النقص بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مُطْلق، وما اشتُهِرَبين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد مِنْ أنّه قائل بشيء مِن الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه فلَعن اللهُ مَنْ نسبَ ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برّأه الله منها" اهـ

ونقل الإمام الحافظ العراقي والإمام القرافي والشيخ ابن حجر الهيتمي وملا علي القاري ومحمد زاهد الكوثري وغيرهم عن الأئمة الأربعة هداة الأمة الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بتكفير القائلين بالجهة والتجسيم ".